i
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
danii
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
  EDITOR  Ismail Hasani
  PEMBACA AHLI  Bonar Tigor Naipospos
  D. Taufan
  Rocky Gerung
  Kamala Chandrakirana
  Benny Soesetyo
  Rafendi Djamin
   PENGUMPUL DATA Abdul Hamim Jauzie
  Hilaludin Safary
 KULIT & TATALETAK Titikoma-Jakarta
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)   
Berpihak dan Bertindak Intoleran: Intoleransi Masyarakat 
dan Restriksi Negara dalam Kebebasan Beragama/ 
Berkeyakinan di Indonesia/ Editor, Ismail Hasani
--- Jakarta: Publikasi SETARA Institute
Januari 2009
15 cm x 21 cm
xviii+146 halaman
ISBN: 978-979-19832-0-4
145
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia144
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
24. Saurip Kadi
25. Suryadi A. Radjab
26. Syarif Bastaman
27. Theodorus W. Koerkeritz
28. Zumrotin KS.
MANAGEMEN ORGANISASI
• Dewan Nasional
Ketua :  Azyumardi Azra    
Sekretaris :  Benny Soesetyo
Anggota :  Kamala Chandrakirana
  M. Chatib Basri 
    Rafendi Djamin
• Badan Pengurus
Ketua : Hendardi
Wakil Ketua : Bonar Tigor Naipospos
Sekretaris : R. Dwiyanto Prihartono
Wakil Sekretaris :  Damianus Taufan  
Bendahara :  Ade Rostina Sitompul
Manager Program :  Ismail Hasani
KONTAK ORGANISASI
Jl. Danau Gelinggang No. 62 Blok C-III
Bendungan Hilir Jakarta 10210 
Telp.  (021) 70255123
Fax. (021) 5731462
Email: setara_institute @hotmail.com
setara@setara-institute.org 
Website www.setara-institute.org []
iii
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
P E N G A N T A R
Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia (UUD RI) 
1945 telah memberikan jaminan konstitusional kepada setiap 
warga negara untuk memeluk agama dan kepercayaan dan 
menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya itu. 
Berbagai produk kebijakan turunannya juga telah menegaskan 
jaminan sebagaimana tertuang dalam Konstitusi. UU No. 
12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Sipil dan Politik, yang 
salah satu pasalnya memuat jaminan kebebasan beragama/ 
berkeyakinan juga telah menjadi landasan bahwa produk 
hukum internasional itu telah menjadi bagian hukum Indonesia 
yang mengikat negara untuk menjamin dan memenuhinya. 
Namun demikian, jaminan konstitusional dan legal 
sebagaimana tersedia dalam perundang-undangan Indonesia 
belum cukup mampu memproteksi kebebasan dasar tersebut. 
Berbagai pelanggaran kebebasan justru dipicu oleh negara 
yang terus memproduksi perundang-undangan yang restriktif 
terhadap warga negara yang memeluk agama/ keyakinan, yang iv
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
dianggap berbeda dari mainstream. Demikian juga minimnya 
pengetahuan publik atas kebebasan sipil warga negara, yang 
kemudian memicu praktik intoleransi dan tindakan kriminal 
terhadap warga negara lainnya. Dua persoalan inilah yang 
menjadi tantangan serius pemenuhan jaminan kebebasan sipil, 
khususnya kebebasan beragama/ berkeyakinan di Indonesia.  
Sebagai sebuah perkumpulan yang bertujuan mewujudkan 
masyarakat yang setara, SETARA Institute memberikan perhatian 
serius terhadap kondisi-kondisi mutakhir berbagai peristiwa yang 
berhubungan dengan perlakuan yang tidak setara yang dialami 
oleh warga negara dan sejumlah pemeluk agama/ penghayat 
keyakinan di Indonesia. Laporan Tahunan ini merupakan bentuk 
upaya SETARA Institute menginformasikan dan mempromosikan 
kepada publik tentang kondisi mutakhir dan reguler tentang 
Kondisi Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia. 
Laporan Tahunan 2008 ini adalah laporan kedua 
yang dipublikasi oleh SETARA Institute, yang merupakan 
hasil pemantauan tentang kondisi kebebasan beragama/ 
berkeyakinan. Publikasi ini diharapkan menjadi perhatian banyak 
pihak terutama pihak negara, yang dalam kerangka hak asasi 
manusia mempunyai kewajiban untuk menghormati, mempro-
mosikan, dan memenuhi hak asasi manusia.
Pemantauan dan publikasi laporan tahunan bertujuan 
untuk [1] mendokumentasikan dan mempublikasikan fakta-
fakta pelanggaran dan terobosan/ kemajuan jaminan kebebasan 
beragama/ berkeyakinan di Indonesia; [2] mendorong negara 
untuk memenuhi jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan 
termasuk melakukan perubahan berbagai produk perundang-
143
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
SETARA Institute ini beranggotakan individu-individu yang 
peduli pada promosi gagasan dan praksis pluralisme, humanitarian, 
demokrasi, dan hak asasi manusia, yang bersifat perorangan dan 
suka rela.
BADAN PENDIRI
1. Abdurrahman Wahid
2. Ade Rostiana S.
3. Azyumardi Azra
4. Bambang Widodo Umar
5. Bara Hasibuan
6. Benny K. Harman
7. Benny Soesetyo
8. Bonar Tigor Naipospos
9. Budi Joehanto
10. Damianus Taufan
11. Despen Ompusunggu
12. Hendardi
13. Ismail Hasani
14. Kamala Chandrakirana
15. Luhut MP Pangaribuan
16. M. Chatib Basri
17. Muchlis T.
18. Pramono Anung W.
19. Rachlan Nashidik
20. Rafendi Djamin
21. R. Dwiyanto Prihartono
22. Robertus Robert
23. Rocky Gerung142
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
yang lebih luas diharapkan dapat memajukan demokrasi dan 
perdamaian. 
SETARA Institute mengambil bagian untuk mendorong 
terciptanya kondisi politik yang terbuka berdasarkan 
penghormatan atas keberagaman, pembelaan hak-hak manusia, 
penghapusan sikap intoleran dan xenophobia. 
VISI ORGANISASI
Mewujudkan perlakuan setara, plural dan bermartabat atas 
semua orang dalam tata sosial politik demokratis.
NILAI-NILAI ORGANISASI
• Kesetaraan
• Kemanusiaan
• Pluralisme
• Demokrasi
MISI ORGANISASI
1. Mempromosikan, pluralisme,  humanitarian, demokrasi 
dan hak asasi manusia.
2. Melakukan studi dan advokasi kebijakan publik dibidang 
pluralisme,  humanitarian, demokrasi dan hak asasi manusia
3. Melancarkan dialog dalam penyelesaian konflik
4. Melakukan pendidikan publik
5.  Mendorong komitmen dunia usaha terhadap penghor-
matan HAM
KEANGGOTAAN 
v
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
undangan yang membatasi kebebasan beragama/ berkeya-
kinan dan pemulihan hak-hak korban; dan [3] memperkuat 
jaringan masyarakat sipil dan memperluas konstituensi untuk 
turut mendorong jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan.
Pemantauan ini menggunakan parameter hak-hak 
konstitusional warga negara yang dijamin dalam Konstitusi dan 
parameter hak asasi manusia, khususnya Kovenan Internasional 
tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh 
pemerintah Indonesia dengan UU. No. 12/ 2005. Parameter 
lain yang digunakan juga adalah Deklarasi Penghapusan Segala 
Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau 
Keyakinan yang dicetuskan melalui Resolusi Sidang Umum PBB 
No 36/55 pada 25 November 1981.
Dalam dua tahun SETARA Institute melakukan pemantauan, 
kebebasan beragama/ berkeyakinan kembali gagal mendapatkan 
pengakuan utuh dari konstitusi akibat bias tafsir konstitusional 
yang tetap dipelihara oleh elit politik negara. Pada saat yang 
bersamaan, negara justru memproduksi kebijakan yang 
melegalkan tindakan penyeragaman dengan dalih penodaan 
dan penistaan agama. Dari sinilah pelanggaran kebebasan 
beragama berkeyakinan dimulai, hingga memunculkan 
kekerasan dan tindakan kriminal baru dalam kehidupan 
beragama/ berkeyakinan.
Di samping kekhawatiran akan memburuknya kondisi 
kebebasan bera-gama/ berkeyakinan, tumbuh dan menguatnya 
organisasi masyarakat sipil yang mempromosikan jaminan 
kebebasan beragama/ berkeyakinan telah memperkuat para 
pembela jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan. vi
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
Akhir kata, SETARA Institute berharap, Laporan Tahunan ini 
dapat berguna bagi kita semua, utamanya bagi para pengambil 
kebijakan, untuk bergegas melakukan perbaikan-perbaikan 
yang memastikan jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan 
di Indonesia. 
Kepada semua pihak yang mendukung kerja pemantauan 
dan terbitnya laporan ini, saya haturkan terima kasih. 
Jakarta, 13 Januari 2009
H E N D A R D I
Ketua Badan Pengurus SETARA Institute
141
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
PROFIL LEMBAGA
SETARA INSTITUTE for Democracy and Peace
PENDAHULUAN
SETARA Institute adalah perkumpulan individual/ 
perorangan yang didedikasikan bagi pencapaian cita-cita di 
mana setiap orang diperlakukan setara dengan menghormati 
keberagaman, mengutamakan solidaritas dan bertujuan 
memuliakan manusia. 
SETARA Institute didirikan oleh orang-orang yang peduli 
pada penghapuskan atau pengurangan diskriminasi dan 
intoleransi atas dasar agama, etnis, suku, warna kulit, gender, 
dan strata sosial lainnya serta peningkatan solidaritas atas 
mereka yang lemah dan dirugikan. 
SETARA Institute percaya bahwa suatu masyarakat 
demokratis akan mengalami kemajuan apabila tumbuh 
saling pengertian, penghormatan dan pengakuan terhadap 
keberagaman. Namun, diskriminasi dan intoleransi masih terus 
berlangsung di sekitar kita bahkan mengarah pada kekerasan. 
Karena itu langkah-langkah memperkuat rasa hormat atas 
keberagaman dan hak-hak manusia dengan membuka partisipasi 140
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
vii
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
RINGKASAN EKSEKUTIF 
Laporan Tahunan 2008 ini adalah laporan kedua 
yang dipublikasi oleh SETARA Institute, yang merupakan 
hasil pemantauan tentang kondisi kebebasan beragama/ 
berkeyakinan. Publikasi ini diharapkan menjadi perhatian 
banyak pihak terutama pihak negara, yang dalam kerangka 
hak asasi manusia mempunyai kewajiban untuk menghormati, 
mempromosikan, dan memenuhi hak asasi manusia.
Pemantauan dan publikasi laporan tahunan bertujuan 
untuk [1] mendokumentasikan dan mempublikasikan fakta-
fakta pelanggaran dan terobosan/ kemajuan jaminan kebebasan 
beragama/ berkeyakinan di Indonesia; [2] mendorong negara 
untuk memenuhi jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan; 
dan [4] memperkuat jaringan masyarakat sipil dan memperluas 
konstituensi untuk turut mendorong jaminan kebebasan 
beragama/ berkeyakinan.
Laporan Tahunan ini disusun berdasarkan data hasil 
pemantauan yang dilakukan 10 region: Sumatera Utara, 
Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Jakarta, Banten, Jawa Barat,  viii
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
Jawa Tengah dan Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Kalimantan 
Selatan, Nusa Tenggara Barat.
Pemantauan ini menggunakan parameter hak asasi 
manusia, khususnya Kovenan Internasional tentang Hak-hak 
Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia 
dengan UU. No. 12/ 2005. Parameter lain yang digunakan juga 
adalah Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan 
Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Keyakinan  (Declaration on 
The Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination 
Based On Religion Or Belief) yang dicetuskan melalui resolusi 
Sidang Umum PBB No 36/55 pada 25 November 1981.
TEMUAN-TEMUAN
Pada tahun 2008 SETARA Institute mencatat 367 tindakan 
pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan dalam 
265 peristiwa. Peristiwa terbanyak terjadi pada bulan Juni 
(103 peristiwa). Bulan Juni adalah bulan di mana desakan 
dan persekuasi terhadap Ahmadiyah mengalami ekskalasi 
cukup tinggi, baik sebagai desakan terhadap pemerintah 
agar mengeluarkan Keputusan Presiden tentang Pembubaran 
Ahmadiyah maupun sebagai dampak serius dari adanya SKB 
Pembatasan Ahmadiyah. 
Peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan 
terkonsentrasi pada bulan Juni 2008. Jika peristiwa-peristiwa 
yang berhubungan dengan Ahmadiyah dikeluarkan dari 
penghitungan, jumlah peristiwa pelanggaran kebebasan 
beragama/ berkeyakinan sebenarnya cukup moderat. Fakta 
ini menunjukkan bahwa peristiwa pelanggaran kebebasan 
139
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
92. Polda Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan
93. POLRES Deliserdang Sumatera Barat
94. POLTABES Medan Sumatera Utara
95. Pusaka Padang Sumatera Barat
96. Pusham Universitas Andalas Sumatera Barat
97. Pusham Universitas Mataram Nusa Tenggara Barat
98. The Asia Foundation DKI Jakarta
99. The Wahid Institute DKI Jakarta
100. Tim Pemantau DKI Jakarta
101. Tim Pemantau Jawa Barat
102. Tim Pemantau Jawa Tengah
103. Tim Pemantau Kalimantan Selatan
104. Tim Pemantau Nusa Tenggara Barat
105. Tim Pemantau Sulawesi Selatan
106. Tim Pemantau Sumatera Barat
107. Tim Pemantau Sumatera Selatan
108. Tim Pemantau Sumatera Utara
109. Tim Pemantau Tangerang Banten
110. Yayasan Paramadina Jawa Barat
***138
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
66. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan
67. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat
68. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Utara
69. Majlis Agama Konghucu (MAKIN) Jawa Barat
70. Majlis Agama Konghucu (MAKIN) Nusa Tenggara Barat
71. Majlis Agama Konghucu (MAKIN) Sulawesi Selatan
72. Majlis Tinggi Agama Konghucu (MATAKIN) DKI Jakarta
73. Muhammadiyah Jawa Barat
74. Muhammadiyah Nusa Tenggara Barat
75. Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Barat
76. Nahdlatul Ulama (NU) Nusa Tenggara Barat
77. Nahdlatul Ulama (NU) Sulawesi Selatan
78. Nahdlatul Ulama (NU) Sumatera Barat
79. Nahdlatul Wathan Anjani Nusa Tenggara Barat
80. Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Jawa Barat
81. Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kalimantan 
Selatan
82. Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Sulawesi Selatan
83. Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Sumatera Barat
84. Pengurus Ahmadiyah Padang Sumatera Barat
85. Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) 
Jawa Barat
86. Persekutan Gereja Indonesia (PGI) Jawa Barat
87. Persekutan Gereja Indonesia (PGI) Nusa Tenggara Barat
88. Persekutan Gereja Indonesia (PGI) Sumatera Barat
89. Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) Jawa Barat
90. Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) Sulawesi 
Selatan
91. Polda Dit Intelkam Sumatera Barat
ix
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
beragama/ berkeyakinan di tahun 2008 dieskalasi oleh adanya 
SKB Pembatasan Ahmadiyah.
Dilihat dari wilayah terjadinya peristiwa pelanggaran, tiga 
provinsi menunjukkan angka pelanggaran yang sangat tinggi jika 
dibandingkan dengan provinsi lainnya. Jawa Barat (73 peristiwa),  
Sumatera Barat (56 peristiwa) dan Jakarta (45 peristiwa). Tiga 
provinsi ini memiliki tingkat toleransi yang rendah sekaligus 
menyimpan potensi konflik agama cukup tinggi. 
Dari 367 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/ 
berkeyakinan, terdapat 188 pelanggaran  yang melibatkan 
negara sebagai aktornya, baik melalui 99 tindakan aktif negara 
(by commission), maupun 89 tindakan pembiaran yang dilakukan 
oleh negara  (by ommission). Untuk pelanggaran yang melibatkan 
negara sebagai aktor, kerangka legal pertanggungjawabanya 
adalah hukum hak asasi manusia, yang mengikat negara 
akibat ratifikasi kovenan dan konvensi. Institusi negara yang 
paling banyak melakukan pelanggaran adalah kepolisian (121 
tindakan), Bupati/ Walikota (28 tindakan), pengadilan (26 
tindakan), dan DPRD (26 tindakan). 
Dari 367 tindakan pelanggaran, sejumlah 88 merupakan 
tindakan kriminal warga dan sejumlah 91 berupa intoleransi 
yang dilakukan oleh individu/ anggota masyarakat. Kategori 
tindakan kriminal dan intoleransi merupakan bentuk 
pelanggaran hukum pidana yang pertanggungjawabannya 
melekat pada individu-individu sebagai subyek hukum. Pelaku 
tindakan pelanggaran pada kategori ini tercatat, MUI (42 
tindakan), FPI (27 tindakan), FUI, KPSI, MMI masing-masing 
(12 tindakan), ormas Islam lain (55 tindakan), kelompok tidak x
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
teridentifikasi (59 tindakan), dan individu 20 tindakan. 
Dari 367 tindakan pelanggaran, hingga memasuki tahun 
2009, negara belum melakukan tindakan apapun kecuali 
memperkarakan penyerangan 1 Juni, di Monas, yang menjerat 
Rizieq Shihab dan Munarman.
Pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan di tahun 
2008 paling banyak menimpa Jemaat Ahmadiyah (238 tindakan 
pelanggaran) dari dari mulai korban intoleransi, represi negara, 
pembiaran negara, dan tindakan kriminal warga negara/ 
kelompok masyarakat. Selanjutnya individu (48 tindakan), aliran 
keagamaan/ keyakinan lain (15 tindakan) dan umat Kristiani (15 
tindakan). 
Di tahun 2008, kebebasan beragama/ berkeyakinan kembali 
gagal menda-patkan pengakuan utuh dari konstitusi akibat 
bias tafsir konstitusional yang tetap dipelihara oleh elit politik 
negara. Pada saat yang bersamaan, negara justru memproduksi 
kebijakan yang melegalkan tindakan penyeragaman dengan 
dalih penodaan dan penistaan agama. Di bidang legislasi, 
di samping sejumlah perundang-undangan dan kebijakan 
restriktif yang sudah ada, di tahun 2008 tercatat 1 legislasi 
dengan landasan moralitas dan agama (UU No.42/ 2008 
tentang Pornografi) dan 3 kebijakan yang semakin merstriksi 
dan mereduksi jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan: 
SKB Pembatasan Ahmadiyah, SK Gubernur Sumatera Selatan 
tentang Larangan Ahmadiyah, dan Rekomendasi Pakem Kota 
Padang kepada Walikota Padang tertanggal 20 November 2008 
tentang Pelarangan dan Penurunan Papan Nama Ahmadiyah 
Kota Padang. 
137
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
40. Jaringan Islam Kampus (Jarik) Nusa Tenggara Barat
41. Kanwil Depag Kalimantan Selatan
42. Kanwil Depag Sumatera Barat
43. Kanwil Depag (Bimas Budha) Sumatera Barat
44. Kasi Pengawasan dan pengamanan Bukittinggi, Sumatera 
Barat
45. Kasi. Kesbang Linmas Bukittinggi, Sumatera Barat
46. Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan
47. Kesbang Propinsi Sulawesi Selatan
48. Kesbanglinmas Provinsi Kalimantan Selatan
49. Keuskupan Padang, Sumatera Barat
50. KODAM Bukit Barisan Medan, Sumatera Utara
51. Komisi Hak Keuskupan Bandung, Jawa Barat
52. Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) DKI Jakarta
53. Kontras DKI Jakarta
54. KUA Kec. Danau Kembar, Sumatera Barat
55. Lembaga Advokasi & Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) 
Sulawesi Selatan
56. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Jawa Barat
57. Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK-3) 
Kalimantan Selatan
58. Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) DKI Jakarta
59. Lembaga Studi Kemanusiaan (Lensa) Nusa Tenggara Barat
60. Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) Jawa Barat
61. Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) Kalimantan Selatan
62. Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) Sulawesi Selatan
63. Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) Sumatera Barat
64. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat
65. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nusa Tenggara Barat136
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
14. DPP Partai Persatuan Indonesia Baru (PPIB) DKI Jakarta
15. Fakultas Hukum Universitas Andalas, Sumatera Barat
16. Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM)
Kalimantan Selatan
17. Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (UNPAD) Jawa Barat
18. Fakultas Syari’ah IAIN Antasari Kalimantan Selatan
19. Fakultas syari’ah IAIN Mataram Nusa Tenggara Barat
20. Fakultas Syari’ah UIN Alaudin Sulawesi Selatan
21. Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) Kalimantan Selatan
22. Gereja Katolik Kalimantan Selatan
23. Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) DKI 
Jakarta
24. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Padang, Sumatera Barat
25. Inteligen Kodam I Bukit Barisan, Sumatera Utara
26. Jamaah Ahmadiyah Indonesia, Sulawesi Selatan
27. Jamaah Ahmadiyah Indonesia, DKI Jakarta
28. Jamaah Ahmadiyah Indonesia Bogor, Sumatera Barat
29. Jamaah Ahmadiyah Indonesia Ciamis, Jawa Barat
30. Jamaah Ahmadiyah Indonesia Cianjur, Jawa Barat
31. Jamaah Ahmadiyah Indonesia Cicalengka, Majalengka, 
Jawa Barat
32. Jamaah Ahmadiyah Indonesia Cimahi, Jawa Barat
33. Jamaah Ahmadiyah Indonesia Depok, Jawa Barat
34. Jamaah Ahmadiyah Indonesia Majalengka, Jawa Barat
35. Jamaah Ahmadiyah Indonesia Padang , Sumatera Barat
36. Jamaah Ahmadiyah Indonesia Sukabumi, Jawa Barat
37. Jamaah Ahmadiyah Indonesia Tasikmalaya, Jawa Barat
38. Jamaah Ahmadiyah Indonesia Pusat DKI Jakarta
39. Jaringan Beragama Jawa Barat
xi
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
Terkait dengan peraturan daerah yang diskriminatif jender 
dan bertentangan dengan HAM, pemerintah di tingkat pusat, 
khususnya Departemen Hukum dan HAM yang memiliki 
kewenangan preventif, Departemen Dalam Negeri yang memiliki 
kewenangan evaluatif dan represif, dan Mahkamah Agung yang 
memiliki kewenangan represif melalui judicial review belum 
mampu menciptakan mekanisme efektif untuk memastikan 
konsistensi peraturan daerah dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi, termasuk dengan konstitusi.
Problematika konstitusional terkait dengan jaminan 
kebebasan beragama/ berkeyakinan dipicu dan dilahirkan oleh 
adanya bias tafsir atas Pasal 29 (2) dan pembatasan jaminan 
kebebasan pada Pasal 28J (2) yang tidak lazim dalam kerangka 
hak asasi manusia. Bias tafsir negara dan pembatasan yang tidak 
lazim telah menjadi pemicu dasar dan pembenar formal seluruh 
peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan di 
Indonesia. 
Dari temuan pemantauan, tidak ada perubahan berati 
terkait legislasi/ kebijakan yang memperkuat jaminan 
kebebasan beragama/ berkeya-kinan. Hanya dua pernyataan 
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang bisa dicatat sebagai 
terobosan deklaratif yang cukup berarti bagi penguatan jaminan 
kebebasan beragama/ berkeyakinan; pertama, pernyataan dan 
komitmennya menuntaskan kasus penyerangan kelompok 
Islam terhadap AKKBB, 1 Juni di Monas; dan kedua, pernyataan 
pengakuan atas keberagaman dan I’tikad untuk menjaganya, 
sebagaimana disampaikan pada Perayaan Natal 2008. 
Laporan ini menunjukkan bahwa tingkat intoleransi baik xii
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
di masyarakat maupun di tubuh negara, melalui aparat negara, 
semakin menguat; kebalikannya, toleransi semakin melemah. 
Indikator penguatan itu antara lain meningkatnya jumlah 
peristiwa dan tindakan pelanggaran kebebasan beragama/ 
berkeyakinan, pilihan politik negara pada pembatasan atas aliran 
keagamaan, dan penyebaran aktor yang semakin ekspansif. 
Jika pada tahun 2007 aktor pelaku tindakan kriminal memusat 
pada sejumlah organisasi Islam radikal, di tahun 2008 aktor 
pelaku semakin menyebar baik sebagai individu atau kelompok-
kelompok tanpa identitas yang secara sporadis melakukan 
tindakan kriminal dan intoleransi. 
Di samping kekhawatiran akan memburuknya kondisi 
kebebasan bera-gama/ berkeyakinan, tumbuh dan menguatnya 
organisasi masyarakat sipil yang mempromosikan jaminan 
kebebasan beragama/ berkeyakinan telah memperkuat para 
pembela jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan. 
Negara, sesungguhnya memiliki otoritas dan kewenangan 
untuk menjamin kebebasan beragama/ berkeyakinan. Minusnya 
kapasitas pemerintah untuk bertindak tegas dan menjamin 
kebebasan ini telah menyeret negara berpihak dan bertindak 
intoleran dan diskriminatif dengan melakukan pembatasan 
melalui sejumlah kebijakan yang diproduksinya. Ambiguitas peran 
negara dalam menjamin kebebasan beragama/ berkeyakinan 
sekaligus telah menunjukkan bahwa elit negara telah dan terus 
melakukan politisasi agama, di mana setiap keberpihakan dan 
tindakannya akan sangat bergantung pada seberapa besar citra 
yang akan terpoles dan seberapa besar dukungan yang akan 
direngkuh. Di tengah kontestasi politik Pemilu 2009, semua 
pihak akan memilih isu-isu yang paling sedikit mendatangkan 
135
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
Terima kasih
SETARA Institute menyampaikan terima kasih kepada 
lembaga-lembaga di bawah ini atas kerja samanya dalam 
menyusun Catatan Tahunan Kondisi Kebebasan Beragama/
Berkeyakinan tahun 2008:
1. CSRC UIN Jakarta, DKI Jakarta
2. DPP Partai Bulan Bintang (PBB) DKI Jakarta
3. DPP Partai Buruh DKI Jakarta
4. DPP Partai Damai Sejahtera (PDS) DKI Jakarta
5. DPP Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) DKI Jakarta
6. DPP Partai Demokrat DKI Jakarta
7. DPP Partai Golkar DKI Jakarta
8. DPP Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI) DKI Jakarta
9. DPP Partai Kebangkinan Nasional Ulama (PKNU) DKI Jakarta
10. DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)  DKI Jakarta
11. DPP Partai Matahari Bangsa (PMB) DKI Jakarta
12. DPP Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI) 
DKI Jakarta
13. DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DKI Jakarta134
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
xiii
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
kerugian politik; dan sebaliknya akan mengeksploitasi isu yang 
dapat mendatangkan keuntungan politik.
Kerentanan daerah-daerah dalam merespon kebijakan 
pemerintah di tingkat pusat terkait jaminan kebebasan 
beragama/ berkeyakinan menunjukkan politisasi agama juga 
menjadi arena kontestasi elit politik di daerah. Pada saat yang 
bersamaan, temuan-temuan pemantauan ini menunjukkan 
rendahnya pendidikan politik masyarakat, sehingga rentan 
untuk dipolitisasi.
Negara masih belum mampu memenuhi janji ratifikasi 
berbagai kovenan dan konvensi hak asasi manusia yang 
sudah mengikat secara hukum  (legally binding) yang terbukti 
dengan tetap mempertahankan berbagai perundang-undangan 
yang secara formal dan substansial cacat hukum karena tidak 
berkesesuaian dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
SETARA Institute mengajukan 11 rekomendasi umum 
untuk memastikan jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan 
di Indonesia:
1. Presiden dan MPR RI perlu mempertimbangkan perlunya 
melakukan amandemen konstitusi dalam rangka penyem-
purnaan jaminan hak-hak konstitusional warga negara, ter-
masuk jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan. 
2. Presiden harus mencabut SKB Pembatasan Ahmadiyah, 
karena secara formal dan substansial kebijakan ini jelas 
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan 
termasuk dan yang utama bertentangan dengan konstitusi. 
SKB juga telah secara nyata mengeskalasi pelanggaran xiv
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
kebebasan beragama/ berkeyakinan di tahun 2008. 
3. Presiden dan DPR RI segera melakukan perubahan berbagai 
peraturan perundang-undangan yang membatasi jaminan 
kebebasan beragama/ berkeyakinan. Pemerintah dan DPR 
RI juga berkewajiban melakukan harmonisasi peraturan 
perundang-undangan dengan Kovenan dan Konvensi 
yang telah diratifikasi, khususnya terkait dengan jaminan 
kebebasan beragama/ berkeyakinan. 
4. Presiden dan DPR RI perlu mempertimbangkan pentingnya 
UU Anti Intoleransi Agama dengan melakukan kajian 
akademik dan mempersiapakan rancangan undang-undang.
5. Kepolisian Republik Indonesia wajib tanpa terkecuali 
memberikan perlindungan kepada setiap warga negara yang 
mengalami kekerasan akibat persekusi dan intoleransi. Polri 
juga perlu meningkatkan pendidikan hak asasi manusia dan 
peningkatan kapasitas aparatnya, khususnya dalam konteks 
memberikan jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan. 
6. Presiden atau menteri yang mewakilinya perlu melakukan 
evaluasi atas pelaksanaan Peraturan Bersama Menteri tentang 
No. 08 dan No. 09/ 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan 
Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah Dalam 
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan 
Forum Kerukunan Umat Beragama, Pendirian Rumah Ibadat.  
7. Departemen Dalam Negeri dan Departemen Hukum dan 
HAM segera menyusun mekanisme yang holistik dalam 
rangka prevensi dan evaluasi peraturan daerah yang 
diskriminatif jender dan bertentangan dengan hak asasi 
133
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
dapat didasarkan pada pasal 18, akrena kewajiban untuk 
menggunakan senjata mungkin saja berkonflik dengan 
kebebasan berkeyakinan dan hak untuk mengamalkan 
agama atau kepercayaan seseorang. Ketika hak ini diakui 
oleh hukum atau praktik, tidak terhadap perbedaan antara 
orang-orang yang menolak wajib militer atas dasar sifat 
kepercayaan mereka; seperti juga halnya tidak boleh ada 
diskriminasi terhadap orang-orang yang menolak wajib 
militer karena mereka gagal melaksanakannya. Komite 
mengundang Negara-negara Pihak untuk melaporkan 
kondisi-kondisi di mana orang-orang dapat dikecualikan 
dari wajib militer atas dasar hak-hak mereka berdasarkan 
pasal 18 dan tentang sifat dan jangka waktu kewajiban 
nasional alternatif sebagai penggantinya. []132
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
agama minoritas berdasarkan pasal 27 juga penting untuk 
dinilai oleh Komite berkaitan dengan sejauh mana hak 
atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, beragama dan 
berkepercayaan telah dilaksanakan oleh Negara-negara 
Pihak. Negara-negara Pihak yang bersangkutan harus 
memasukkan dalam laporannya tentang informasi yang 
berkaitan dengan praktik-praktik yang ditentukan oleh 
hukum dan yurisprudensinya yang dapat dihukum sebagai 
penghinaan terhadap Tuhan.
10.  Jika suatu kepercayaan diperlakukan sebagai ideologi resmi 
dalam konstitusi-konstitusi, statuta-statuta, proklamasi-
proklamasi pihak yang berkuasa, dan sebagainya, atau dalam 
praktik aktual, maka hal ini tidak boleh menyebabkan tidak 
terpenuhinya kebebasan terdasarkan pasal 18 atau hak-
hak lain yang diakui oleh Kovenan maupun menyebabkan 
diskriminasi terhadap orang-orang yang tiadk menerima 
ideologi resmi tersebut atau yang menentangnya.
11.  Banyak individu menyatakan adanya hak untuk menolak 
melakukan wajib militer (penolakan wajib militer) dengan 
alasan bahwa hak tersebut berasal dari kebebasan 
mereka berdasarkan pasal 18. Berkaitan dengan hal 
tersebut, semakin banyak Negara telah menetapkan 
dalam hukum mereka tentang pengecualian dalam wajib 
militer bagi warga negara yang benar-benar menganut 
agama atau kepercayaan lain yang melarang keterlibatan 
dalam wajib militer dan mengganti hal tersebut dengan 
bentuk kewajiban nasional alternatif. Kovenan tidak 
secara eksplisit merujuk pada hak atas penolakan wajib 
militer, tetapi Komite menganggap bahwa hak tersebut 
xv
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
manusia, termasuk dengan konstitusi.
8. Partai politik harus mengintegrasikan isu jaminan kebebasan 
beragama/ berkeyakinan dan praktik keberagamaan yang 
iklusif dalam agenda-agenda politik partainya, karena 
partai politik juga memiliki kewajiban untuk mendorong 
pemenuhan hak asasi manusia. 
9. Partai politik dan elemen politik lainnya harus menghentikan 
praktik politisasi agama yang hanya dimaksudkan untuk 
menghimpun dukungan publik untuk memilihnya dalam 
setiap arena kontestasi politik, dengan melakukan manipulasi 
dan pembodohan publik, yang merugikan banyak pihak.   
10. Para pemeluk agama/ keyakinan perlu memanfaatkan 
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagai forum 
dialog dalam memecahkan masalah kebebasan beragama 
dan memperkuat iklim toleransi. Birokratisasi FKUB  dalam 
memberikan izin pendirian rumah ibadah sepatutnya 
diberikan kembali kepada setiap pemeluk agama/ keyakinan 
untuk bebas mendirikan rumah ibadah.
11. Masyarakat, pemuka masyarakat, dan kalangan pendidikan 
perlu mendorong penguatan kembali nilai-nilai toleransi 
yang menjadi modal sosial bangsa, di masa lalu yang saat 
ini telah terkikis oleh berbagai perubahan sosial.  Perlu 
mengembangkan pendidikan kewargaan, pendidikan 
religiusitas universal, dan pendidikan budi pekerti.[]xvi
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
131
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
9.  Kenyataan bahwa suatu agama diakui sebagai agama 
negara, atau bahwa agama tersebut dinyatakan sebagai 
agama resmi atau tradisi, atau bahwa penganut agama 
tersebut terdiri dari mayoritas penduduk, tidak boleh 
menyebabkan tidak dinikmatinya hak-hak yang dijamin 
oleh Kovenan, termasuk oleh pasal 18 dan pasal 27, 
maupun menyebabkan diskriminasi terhadap penganut 
agama lain atau orang-orang yang tidak beragama 
atau berkepercayaan. Khususnya, langkah-langkah 
tertentu yang mendiskriminasi orang-orang tersebut, 
seperti langkah-langkah yang membatasi akses terhadap 
pelayanan pemerintah hanya bagi anggota agama yang 
dominan atau memberikan kemudahan-kemudahan 
ekonomi hanya bagi mereka atau menerapkan pembatasan 
khusus terhadap praktik kepercayaan lain, adalah tidak 
sesuai dengan pelarangan diskriminasi berdasarkan agama 
atau kepercayaan dan jaminan terhadap perlindungan 
yang setara dalam pasal 26. Langkah-langkah yang diatur 
oleh pasal 20, ayat 2 Kovenan mencakup perlindungan 
dari pelanggaran terhadap hak-hak agama minoritas dan 
kelompok agama lainnya untuk melaksanakan hak-hak 
yang dijamin oleh pasal 18 dan pasal 27, dan dari tindakan-
tindakan kekerasan atau diskriminasi terhadap kelompok-
kelompok tersebut. Komite ingin diberikan informasi 
tentang langkah-langkah yang telah diambil oleh Negara-
negara Pihak untuk melindungi praktik-praktik semua 
agama atau kepercayaan dari pelanggaran dan untuk 
melindungi penganutnya dari diskriminasi. Hal yang sama, 
informasi mengenai penghormatan hak-hak penganut 130
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
pasal 26. Pembatasan yang diterapkan harus dijamin 
oleh hukum dan tidak boleh diterapkan dengan cara-cara 
yang dapat melanggar hak-hak yang dijamin di pasal 18. 
Komite mengamati bahwa ayat 3 pasal 18 harus diartikan 
secara tegas: pembatasan tidak dibolehkan berdasarkan 
hal-hal yang tidak dinyatakan di pasal tersebut, walaupun 
jika alasan tersebut diperkenankan sebagai pembatasan 
terhadap hak-hak lain yang dilindungi oleh Kovenan, seperti 
misalnya keamanan nasional. Pembatasan-pembatasan 
dapat diterapkan hanya untuk tujuan-tujuan sebagaimana 
yang telah diatur serta harus berhubungan langsung dan 
sesuai dengan kebutuhan khusus yang sudah ditentukan. 
Pembatasan tidak boleh diterapkan untuk tujuan-tujuan 
yang diskriminatif atau diterapkan dengan cara yang 
diskriminatif. Komite menganggap bahwa konsep moral 
berasal dari banyak tradisi sosial, filosofi, dan agama; 
oleh karenanya, pembatasan terhadap kebebasan untuk 
menjalankan agama atau kepercayaan untuk tujuan 
melindungi moral harus didasarkan pada prinsip-prinsip 
yang diambil tidak hanya dari satu tradisi saja. Orang-
orang yang sudah menjadi subyek pembatasan hukum 
tertentu, misalnya narapidana, harus dapat menikmati hak 
mereka untuk menjalankan agama atau kepercayaannya 
sebagaimana dimungkinkan dan sesuai dengan kekhususan 
pembatasan terhadap mereka. Laporan-laporan Negara 
Pihak harus memberikan informasi tentang ruang lingkup 
dan dampak pembatasan berdasarkan pasal 18.3, baik 
persoalan hukum maupun penerapannya dalam kondisi-
kondisi khusus.
xvii
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
Daftar Isi 
Pengantar ........................................................................ iii
Ringkasan Eksekutif ......................................................... vi
Daftar Isi .......................................................................... xvii
1. Pendahuluan ............................................................... 1
2. Definisi operasional & Kerangka Analisis ...................... 7
3. Temuan-temuan .......................................................... 23
3.1. Gambaran umum ................................................. 23
3.2. Gambaran di Wilayah Pemantauan ....................... 28
3.3.  Peristiwa dan Pelanggaran  ................................... 36
3.3.1.   Tindakan Aktif dan Pembiaran oleh  Negara.. 44
3.3.2. Tindakan Kriminal dan Intoleransi Warga 
 Negara ..................................................... 58
3.3.3. Korban Pelanggaran & Dampak yang  
Ditimbulkan ............................................. 79
3.4.  Bias Tafsir Konstitusi Terhadap Jaminan Kebebasan    
   Beragama/ Berkeyakinan ....................................... 83
3.5.  Terobosan ............................................................ 95xviii
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
4. Tanggung Jawab Negara .............................................. 99
5. Kesimpulan dan Rekomendasi ...................................... 103
Bahan Bacaan .................................................................. 113
Lampiran-Lampiran .......................................................... 117
Ucapan Terimakasih ......................................................... 135 
Profil Lembaga ................................................................. 141
129
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
mencatat bahwa pendidikan publik yang mencakup 
pengajaran terhadap satu agama atau kepercayaan 
tertentu saja adalah tidak sesuai dengan pasal 18.4, kecuali 
jika dibuat suatu ketentuan tentang pengecualian atau 
alternatif yang tidak diskriminatif yang mengakomodir 
keingingan orang tua dan wali yang sah.
7.  Sesuai dengan pasal 20, tidak satu pun pengamalan agama 
atau kepercayaan dapat digunakan sebagai propaganda 
untuk berperang atau advokasi kebencian nasional, rasial, 
atau agama, yang dapat mendorong terjadinya diskriminasi, 
permusuhan, atau kekerasan. Sebagaimana dinyatakan 
oleh Komite dalam Komentar Umum No. 11 [19], Negara-
negara Pihak memiliki kewajiban untuk menegakkan 
hukum guna melarang tindakan-tindakan tersebut.
8.  Pasal 18.3 mengijinkan adanya pembatasan terhadap 
kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan 
seseorang hanya jika pembatasan tersebut diatur oleh 
ketentuan hukum dan diperlukan untuk melindungi 
keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat, 
atau hak dan kebebasan mendasar orang lain. Kebebasan 
dari pemaksaan untuk memiliki atau menganut agama 
atau kepercayaan tertentu serta kebebasan orang tua 
dan wali yang sah untuk menjamin pendidikan agama 
dan moral tidak bisa dibatasi. Dalam mengartikan ruang 
lingkup ketentuan pembatasan yang diijinkan, Negara-
negara Pihak harus memulai dari kebutuhan untuk 
melindungi hak-hak yang dijamin oleh Kovenan, termasuk 
hak atas kesetaraan dan nondiskriminasi di bidang apa 
pun sebagaimana ditentukan di pasal 2, pasal 3, dan 128
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
atau kepercayaan yang dianutnya dengan agama atau 
kepercayaan yang lain, atau untuk mengadopsi pandangan 
ateisme, serta hak untuk mempertahankan suatu agama 
atau kepercayaan. Pasal 18.2 melarang pemaksaan yang 
dapat melanggar hak untuk menganut atau menerima 
suatu agama atau kepercayaan, termasuk penggunaan 
ancaman kekerasan fisik atau sanksi hukum guna memaksa 
orang-orang yang percaya atau tidak percaya untuk 
menaati kepercayaan dan penganut agama mereka, untuk 
menolak agama atau kepercayaan mereka, atau untuk 
mengganti agama atau kepercayaan mereka. Kebijakan-
kebijakan atau praktik-praktik yang memiliki tujuan atau 
dampak yang sama, seperti misalnya, kebijakan atau praktik 
yang membatasi akses terhadap pendidikan, pelayanan 
kesehatan, pekerjaan, atau hak-hak yang dijamin oleh 
pasal 25 dan ketentuan-ketentuan lain dalam Kovenan, 
juga tidak sesuai dengan pasal 18.2. Perlindungan yang 
sama diberikan pada penganut semua kepercayaan yang 
bersifat nonagama.
6.  Komite memandang bahwa pasal 18.4 mengijinkan 
adanya pengajaran di sekolah publik berkaitan dengan 
mata pelajaran seperti sejarah umum agama-agama dan 
etika jika mata pelajaran tersebut diberikan secara netral 
dan obyektif. Kebebasan orang tua atau wali yang sah 
untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral 
bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka 
sendiri, yang diatur di pasal 18.4, berkaitan dengan 
jaminan terhadap kebebasan untuk mengajarkan agama 
atau kepercayaan yang dinyatakan di pasal 18.1. Komite 
1
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
1
PENDAHULUAN
Dalam beberapa tahun terakhir ini, terdapat fakta-fakta 
peristiwa kekerasan yang terjadi dan berhubungan dengan 
agama. Makna berhubungan dengan agama adalah, bahwa 
kekerasan yang terjadi bisa saja menimpa kelompok-kelompok 
agama, menggunakan argumen pembelaan agama sebagai 
alat justifikasi, atau dalil penghinaan terhadap agama sebagai 
pemicu terjadinya sebuah kekerasan. Satu dekade kehidupan 
keagamaan Indonesia juga mencatat berbagai konflik dan 
kekerasan yang dipicu oleh perbedaan agama: di Poso, Ambon, 
Ketapang, dan Maluku Utara. Sekalipun agama hanya digunakan 
sebagai cover konflik kepentingan yang sesungguhnya, di 
permukaan yang muncul adalah konflik antar anak bangsa yang 
berbeda agama. Banyak teori dan penjelasan ihwal konflik dan 
kekerasan berbasis agama ini, tapi yang pasti bahwa kekerasan 
telah terjadi dan perbedaan agama plus toleransi yang minimum 
telah terbukti menjadi pemantik yang efektif bagi terjadinya 
sebuah konflik dengan kekerasan.2
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
Pada masa orde baru, konflik semacam ini sedikit 
sekali muncul karena rezim Orde Baru secara sistemik telah 
mengunci rapat artikulasi politik kelompok-kelompok agama 
dan mengikatnya dalam wadah-wadah yang didesain dan 
dikontrol oleh Orde Baru. Wajah agama pada periode  ini sangat 
monolitik akibat kepatuhan tunggal pada rezim militer Orde 
Baru. Pemerintah, saat itu sigap memberangus perbedaan 
pandangan agama/ keyakinan dan menampilkan kerukunan 
palsu yang tidak berangkat dari kesadaran dan kebutuhan 
individu-individu untuk hidup rukun. Dalam situasi  yang 
demikian, kelompok yang dianggap berbeda dengan desain 
Orde Baru dipastikan akan dieleminasi lalu dihapuskan, baik 
dengan menggunakan tangan elit masyarakat yang berpatron 
dengan kekuasaan maupun oleh militer yang saat itu menjadi 
alat efektif kekuasaan. 
Setelah rezim Orde Baru jatuh pada medio 1998, artikulasi 
politik kelompok-kelompok agama, utamanya agama-agama 
yang dianggap mayoritas, mengalami ledakan aspirasi setelah 
sekian lama dibelenggu oleh militerisme Orde Baru. Demikian 
juga perbedaan pandangan antar umat beragama dan gesekan 
kepentingan telah menampilkan kondisi yang sesungguhnya. 
Kerukunan palsu yang didesain oleh Orde Baru menyeruak 
ke permukaan menjadi konflik dengan kekerasan karena 
sesungguhnya konflik itu ada dan terjadi tapi tidak pernah 
terselesaikan. Dialog dan keterbukaan untuk mengatasi konflik 
secara dialogis tidak pernah mendapatkan tempat.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa sesungguhnya di 
masa rezim Orde Baru, konflik dan gesekan kepentingan telah 
127
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
4.  Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan 
dapat dilakukan “baik secara individu maupun bersama-
sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau 
tertutup”. Kebebasan untuk menjalankan agama dan 
kepercayaan dalam ibadah, ketaatan, pengamalan, dan 
pengajaran mencakup berbagai kegiatan. Konsep ibadah 
mencakup kegiatan ritual dan seremonial yang merupakan 
pengungkapan langsung dari kepercayaan seseorang, 
penggunaan cara-cara dan obyek-obyek ritual, penunjukan 
simbol-simbol, dan menjalankan hari raya dan hari istirahat. 
Pelaksanaan dan praktik agama atau kepercayaan mungkin 
tidak hanya mencakup kegiatan-kegiatan seremonial, 
tetapi juga kebiasaan-kebiasaan seperti peraturan tentang 
makanan, pemakaian pakaian tertentu atau penutup-
kepala, keterlibatan dalam ritual-ritual yang berhubungan 
dengan tahapan-tahapan tertentu dalam hidup manusia, 
dan pemakaian bahasa tertentu yang biasa digunakan 
dalam suatu kelompok. Kemudian, pengamalan dan 
pengajaran agama atau kepercayaan mencakup kegiatan-
kegiatan integral yang dilakukan oleh kelompok-kelompok 
agama berkaitan dengan urusan-urusan mendasar mereka, 
seperti kebebasan untuk memilih pemimpin agama, 
pendeta, dan guru, kebebasan untuk membentuk seminari 
atau sekolah agama, dan kebebasan untuk membuat dan 
menyebarluaskan teks-teks atau publikasi-publikasi agama.
5.  Komite mengamati bahwa kebebasan untuk “menganut 
atau menerima” suatu agama atau kepercayaan juga 
mencakup kebebasan untuk memilih agama atau 
kepercayaan, termasuk hak untuk mengganti agama 126
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
2.  Pasal 18 melindungi kepercayaan-kepercayaan tauhid, 
nontauhid, dan ateisme, serta hak untuk tidak menganut 
agama atau kepercayaan apa pun. Istilah “kepercayaan” 
dan “agama” harus dipahami secara luas. Pasal 18 
tidak membatasi penerapannya hanya pada agama-
agama tradisional atau agama-agama dan kepercayaan-
kepercayaan yang memiliki karakteristik institusional atau 
praktik-praktik yang serupa dalam agama-agama tradisional 
tersebut. Oleh karenanya, Komite prihatin akan adanya 
kecenderungan diskriminasi terhadap suatu agama atau 
kepercayaan atas dasar apa pun, termasuk berdasarkan 
kenyataan bahwa agama atau kepercayaan tersebut baru 
saja dibentuk, atau bahwa agama tersebut mewakili suatu 
kelompok agama minoritas dalam komunitas dengan 
agama mayoritas tertentu yang mungkin menjadi subyek 
permusuhan.
3.  Pasal 18 membedakan kebebasan berpikir, berkeyakinan, 
dan beragama atau berkepercayaan dari kebebasan 
untuk menjalankan agama atau kepercayaannya. Pasal ini 
tidak mengijinkan adanya pembatasan apa pun terhadap 
kebebasan berpikir dan berkeyakinan atau terhadap 
kebebasan untuk menganut atau menerima suatu 
agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya. 
Kebebasan-kebebasan ini dilindungi tanpa pengecualian, 
sebagaimana halnya hak setiap orang untuk mempunyai 
pendapat tanpa diganggu di pasal 19.1. Sesuai dengan 
pasal 18.2 dan pasal 17, tidak seorang pun dapat dipaksa 
untuk mengungkapkan pikiran atau kesetiaannya terhadap 
suatu agama atau kepercayaan.
3
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
terjadi, hanya saja tidak diperkenankan untuk diselesaikan 
apalagi didialogkan akibat totalitarianisme rezim militer yang 
berkuasa. Dalam konteks yang demikian, kebebasan, khususnya 
dalam konteks laporan ini adalah kebebasan beragama/ 
berkeyakinan, jelas tidak pernah diakui karena semua agama/ 
keyakinan yang berbeda dari apa yang dikonstruksikan rezim 
militer, adalah salah dan harus dihapuskan.    
Berangkat dari kesadaran masa lalu itu, Amandemen 
UUD 1945 menegaskan jaminan kebebasan beragama/ 
berkeyakinan yang jauh lebih kokoh dari sekadar yang 
tercantum pada UUD Negara RI 1945 sebelum amandemen, 
yang hanya mencantumkan Pasal 29 ayat (1) dan (2). Penegasan 
pascamandemen termaktub di dalam Pasal 28E ayat (1) dan ayat 
(2) yang menjamin setiap warga negara bebas memeluk agama/ 
kepercayaan. Paradigma yang diadopsi oleh Pasal 28E ini jauh 
lebih progresif dari jaminan pada Pasal 29 jika di takar dengan 
prinsip-prinsip hak asasi manusia. 
Setelah adanya jaminan konstitusional yang lebih kokoh 
dus berbagai instrumen internasional yang telah diratifikasi 
pemerintah Indonesia, seharusnya negara melakukan langkah-
langkah penjabaran secara lebih operasional, baik dengan 
mencabut berbagai perundang-undangan yang membatasi 
jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan maupun dengan 
memproduksi berbagai peraturan perundang-undangan yang 
kondusif bagi pemenuhan jaminan kebebasan itu. Faktanya, 
negara tetap mempertahankan berbagai perundang-undangan 
yang restriktif dan bahkan mereproduksi pembatasan-
pembatasan kebebasan baik melalui Pasal 28J ayat (2) UUD 
Negara RI 1945 maupun melalui perundang-undangan. 4
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
Transisi politik menuju demokrasi yang bergulir sejak 1998 
telah gagal mengokohkan nilai-nilai dan praksis kebebasan sipil 
[baca: kebebasan beragama/ berkeyakinan] dalam berbangsa 
dan bernegara. Di tengah transisi politik yang keluar jalur 
(out of the track),  dalam konteks politik Indonesia telah 
muncul kekuatan baru yang totalitarian atas nama agama dan 
moralitas. Setiap keyakinan, pandangan, atau pilihan politik 
yang dianggap tidak sejalan dengan agama [baca: agama-
agama yang dianggap mainstream] dan bertentangan dengan 
‘moralitas’ harus disingkirkan dan menjadi absah untuk 
diperlakukan tidak setara, dengan kekerasan sekalipun. Inilah 
realitas baru yang saat ini terjadi di Indonesia. Satu dekade sejak 
medio 1998, transisi politik Indonesia hanya menghasilkan 
kebebasan politik (political liberties) tanpa jaminan kebebasan 
sipil (civil liberties).      
Dalam konteks yang demikian, upaya-upaya mendorong 
penguatan toleransi, pengutamaan dialog dalam penyelesaian 
konflik, dan advokasi kebijakan untuk melahirkan perundang-
undangan yang kondusif memiliki siginifikansi tinggi bagi 
penguatan jaminan kebebasan sipil secara utuh.  
SETARA Institute, sebagai sebuah organisasi perhimpunan 
yang memiliki kepedulian dalam mewujudkan masyarakat yang 
setara, menaruh perhatian pada promosi jaminan kebebasan 
beragama/ berkeyakinan dan terus menerus mendorong 
negara untuk memenuhi jaminan kebebasan beragama/ 
berkeyakinan di Indonesia. Laporan Tahunan ini merupakan 
bentuk upaya SETARA Institute menginformasikan dan 
mempromosikan kepada publik tentang kondisi mutakhir dan 
125
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
Lampiran 2
Komite Hak Asasi Manusia
Komentar Umum 22
Pasal 18
(Sesi keempat puluh delapan, 1993), Kompilasi Komentar 
Umum dan Rekomendasi Umum yang Diadopsi oleh 
Badan-badan Perjanjian Hak Asasi Manusia
U.N. Doc. HRI\GEN\1\Rev.1 at 35 (1994)
1.  Hak atas berpikir, berkeyakinan, dan beragama (yang 
termasuk kebebasan untuk menganut kepercayaan) dalam 
pasal 18.1 bersifat luas dan mendalam; hak ini mencakup 
kebebasan berpikir mengenai segala hal, kepercayaan 
pribadi, dan komitmen terhadap agama atau kepercayaan, 
baik yang dilakukan secara individual maupun bersama-
sama dengan orang lain. Komite meminta perhatian Negara-
negara Pihak pada kenyataan bahwa kebebasan berpikir 
dan kebebasan berkeyakinan sama-sama dilindungi seperti 
halnya kebebasan beragama dan berkepercayaan. Karakter 
mendasar dari kebebasan-kebebasan ini juga dicerminkan 
pada kenyataan bahwa ketentuan ini tidak dapat dikurangi 
(cannot be derogated) bahkan pada saat darurat publik, 
sebagaimana dinyatakan di pasal 4.2 dalam Kovenan.124
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
seseorang dan masyarakat dalam persoalan-persoalan 
agama atau kepercayaan pada tingkat nasional dan 
internasional.
Pasal 7
Hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang dinyatakan dalam 
Deklarasi yang sekarang ini akan disesuaikan dalam perundang-
undangan nasional dalam suatu cara sedemikian rupa, sehingga 
dalam kehidupan sehari-hari setiap orang dapat menikmati 
sendiri hak-hak dan kebebasan-kebebasan tersebut.
Pasal 8
Tidak satu ketentuan pun dalam Deklarasi ini dapat 
dianggap sebagai pembatasan atau pengurangan dari hak 
manapun yang dinyatakan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi 
Manusia dan Kovenan-Kovenan Internasional tentang Hak Asasi 
Manusia. []
5
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
reguler tentang Kondisi Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan 
di Indonesia.       
Laporan Tahunan 2008 ini adalah laporan kedua yang 
dipublikasikan oleh SETARA Institute, yang merupakan 
hasil pemantauan tentang kondisi kebebasan beragama/ 
berkeyakinan. Publikasi ini diharapkan menjadi perhatian 
banyak pihak terutama pihak negara, yang dalam kerangka 
hak asasi manusia mempunyai kewajiban untuk menghormati, 
mempromosikan, dan memenuhi hak asasi manusia.
Pemantauan dan publikasi laporan tahunan bertujuan 
untuk [1] mendokumentasikan dan mempublikasikan fakta-
fakta pelanggaran dan terobosan/ kemajuan jaminan kebebasan 
beragama/ berkeyakinan di Indonesia; [2] mendorong negara 
untuk memenuhi jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan 
termasuk melakukan perubahan berbagai produk perundang-
undangan yang membatasi kebebasan beragama/ berkeyakinan 
dan pemulihan hak-hak korban; [3] menyediakan baseline 
data tentang kebebasan beragama/ berkeyakinan; dan [4] 
memperkuat jaringan masyarakat sipil dan memperluas 
konstituensi untuk turut mendorong jaminan kebebasan 
beragama/ berkeyakinan.
Berdasarkan sensus tahun 2000, demografi agama 
(religious demography) di Indonesia menunjukkan 245 juta jiwa 
menganut agama yang berbeda dengan komposisi 88.2 persen 
pemeluk Islam, 5.9 persen Protestan, 3.1 persen Katholik, 1.8 
persen Hindu, 0.8 persen Budha, dan 0.2 persen agama dan 
kepercayaan lainnya. Hasil Survey Penduduk Antar Sensus 
(SUPAS) 2005 juga masih menunjukkan angka yang hampir 6
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
sama. Islam (87,20%), Protestan (5.79%), Katholik (3,08%), 
Hindu (1.73%), Budha (0.60), Konghucu1
 (0,10), dan Lainnya 
(0,12). Data ini adalah fakta sosiologis bahwa Indonesia adalah 
negeri yang beragam. Atas dasar fakta inilah, maka pluralisme 
sebagai suatu pandangan, kesadaran, dan sikap di mana 
semua orang dan kelompok diperlakukan setara, semestinya 
menjadi landasan dalam praktik penyeleng-garaan kehidupan 
kenegaraan dan kebangsaan.    
Laporan Tahunan ini disusun berdasarkan data hasil 
pemantauan yang dilakukan 10 region: Sumatera Utara, 
Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Jakarta, Banten, Jawa Barat,  
Jawa Tengah & Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Kalimantan 
Selatan, Nusa Tenggara Barat.
Pengumpulan data dilakukan dengan [1] pemantauan oleh 
10 pemantau daerah; [2] diskusi terfokus di 5 wilayah [Sumatera 
Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Nusa 
Tenggara Barat]; [3] monitoring media; [4] pengumpulan data 
dari institusi-institusi kegamaan/ kepercayaan dan institusi 
pemerintah; dan [5] wawancara otoritas pemerintahan di 
tingkat daerah di 10 wilayah propinsi.[]
1
 Pada Sensus Tahun 2000, Agama Konghucu, tidak dicatat sebagai 
agama, tapi pada SUPAS 2005, sejalan dengan pengakuan negara atas 
agama ini, pemeluk agama Konghucu dicatat dan dihitung dalam pendataan 
nasional. Lihat Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesi 2008, 
CRCS UGM, 2008 h. 2. Baca juga, Masyarakat Konghucu: Agama Kami di KTP 
Dikosongkan, Detik, 28/1/2003.
123
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
Sesuai dengan ketentuan pasal 1 Deklarasi ini, dan 
dengan tunduk pada ketentuan-ketentuan pasal 1 ayat 3 
hak atas kebebasan berpendapat, berkeyakinan, beragama 
atau kepercayaan harus mencakup, antara lain, kebebasan-
kebebasan berikut:
(a) Beribadah atau berkumpul dalam hubungannya dengan 
suatu agama atau kepercayaan, dan mendirikan serta 
mengelola tempat-tempat untuk tujuan-tujuan ini;
(b) Mendirikan dan mengelola berbagai lembaga amal atau 
kemanusiaan  yang sesuai;
(c) Membuat, memperoleh dan mempergunakan secukupnya 
perlengkapan dan bahan-bahan yang diperlukan berkaitan 
dengan upacara atau adat istiadat suatu agama atau 
kepercayaan;
(d) Menulis, menerbitkan dan menyebarluaskan berbagai 
penerbitan yang relevan di bidang-bidang ini;
(e) Mengajarkan suatu agama atau kepercayaan ditempat-
tempat yang sesuai untuk tujuan-tujuan ini;
(f) Mengumpulkan dan menerima sumbangan-sumbangan 
keuangan dan sumbangan-sumbangan lain sukarela dari 
perseorangan atau lembaga;
(g) Melatih, menunjuk, memilih atau mencalonkan melalui 
suksesi para pemimpin yang tepat yang diperlukan 
berdasarkan persyaratan-persyaratan dan standar-standar 
agama atau kepercayaan apapun;
(h) Menghormati  hari-hari istirahat, dan merayakan hari-hari 
libur dan upacara-upacara menurut ajaran-ajaran agama 
atau kepercayaan seseorang;
(i) Mendirikan dan mengelola komunikasi-komunikasi dengan 122
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
tuanya, atau para wali hukumnya, dan tidak dapat 
dipaksa menerima pengajaran agama atau kepercayaan 
yang berlawanan dengan harapan-harapan orang tuanya 
atau wali hukumnya, kepentingan-kepentingan terbaik 
anak merupakan prinsip yang dijadikan pedoman.
3. Anak harus dilindungi dari bentuk diskriminasi apapun 
berdasarkan alasan agama atau kepercayaan. Anak harus 
dibimbing hingga dewasa dalam semangat pengertian, 
toleransi, persahabatan antar bangsa, perdamaian dan 
persaudaran universal, penghormatan terhadap kebebasan 
beragama atau kepercayaan orang-orang lain, dan dalam 
kesadaran sepenuhnyua bahwa tenaga dan keahliannya 
harus dicurahkan pada pelayanan terhadap manusia 
sesamanya
4. Dalam kasus seorang anak yang tidak dibawah asuhan 
baik orang tuanya atau wali hukumnya, perhatian yang 
semestinya harus diberikan kepada harapan-harapan 
khusus mereka atau bukti lain apapun mengenai harapan-
harapan mereka dalam persoalan agama atau kepercayaan, 
kepentingan-kepentingan terbaik anak merupakan prinsip 
yang dijadikan pedoman.
5. Pengamalan suatu agama atau kepercayaan yang di dalam-
nya seorang anak dibesadkan tidak boleh membahayakan 
kesehatan jasmani atau rohaninya atau pengembangan 
dirinya sepenuhbya, dengan memperhatikan ketentuan 
pasal 1 ayat 3 Deklarsi ini.
Pasal 6
7
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
 2
DEFINISI OPERASIONAL & 
KERANGKA ANALISIS
Pemantauan dan penulisan laporan kondisi kebebasan 
beragama/ berkeyakinan di Indonesia berpijak pada perspektif 
hak asasi manusia, yang meletakkan kebebasan beragama/ 
berkeyakinan sebagai hak individu yang tidak bisa ditunda 
pemenuhannya  (non derogable rights). Karena itu definisi-
definisi yang digunakan dalam pemantauan dan penulisan 
laporan ini mengacu pada definisi-definisi dalam disiplin 
hukum hak asasi manusia. Kebebasan beragama adalah 
sebuah jaminan oleh pemerintah bagi kebebasan kepercayaan 
untuk individu dan kebebasan beribadah untuk individu dan 
kelompok. Kebebasan beragama dinilai oleh banyak pihak dari 
berbagai bangsa dan masyarakat sebagai sebuah hak asasi 
manusia fundamental.
2
  
2
 Davis, Derek H., The Evolution of Religious Liberty as a Universal Human 
Right, dipublikasi kembali pada tanggal 5 Desember 2006.8
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
Terminologi AGAMA atau KEYAKINAN dalam perspektif 
hak asasi manusia tidak diartikan secara sempit dan tertutup 
tapi dikonstruksikan secara luas. Kesalahapahaman umum yang 
sering terjadi biasanya menyatakan bahwa agama semata-mata 
sebagai sebuah kepercayaan kepada Tuhan (theistik) sedangkan 
selain dari yang theistik dianggap bukan agama. Padahal 
Buddhaisme yang non-theistik dan Hinduisme yang polytheistik 
adalah juga agama. 
Agama atau keyakinan tersebut tidak hanya dibatasi 
pada agama tradisional atau pada institusi yang mempunyai 
karakteristik atau praktik yang dianggap sama  dengan agama 
tradisional, yang dalam disiplin agama-agama disebut sebagai 
agama samawi (berasal dari langit). Agama atau keyakinan yang 
baru terbentuk dan agama minoritas, dalam istilah lain disebut 
agama ardhi (muncul bumi) berhak mendapat perlindungan dari 
komunitas keagamaan yang berkuasa.
3
 
Perspektif hak asasi manusia juga menegaskan, baik 
penganut theistik, non theistik, maupun yang menyatakan tidak 
mempunyai agama atau keyakinan sama-sama mempunyai hak 
dan mendapat perlindungan.
4
 Komite Hak Asasi Manusia PBB 
menyatakan: “The Committee stated that 'religion or belief' 
includes minority and non-mainstream religions and theistic, 
non-theistic and atheistic beliefs. Article 18 also protects the 
freedom not to believe. (UN Human Rights Committee, General 
Comment No. 22, 1993)”. Dengan demikian, pemantauan dan 
penulisan laporan ini melingkupi juga agama/ keyakinan yang 
3
 Paragraf 2 – Komentar Umum 22 tentang Pasal 18, Komite HAM PBB, 1993
4
 Ibid.
121
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
tentang Hak Asasi Manusia dan sebagai hambatan terhadap 
hubungan-hubungan bersahabat dan damai dioantara bangsa-
bangsa.
Pasal 4
1. Semua Negara harus mengambil tindakan-tindakan yang 
efektif uintuk mencagah dan menghapus diskriminasi 
berdasarkan alasan-alasan agama atau kepercayaan 
dalam pengakuan, pelaksanaan dan penikmatan hak asasi 
manusia dan kebebasan mendasar disemua bidang sipil, 
ekonomi, politik,sosial dan kehidupan budaya.
2. Semua Negara harus melakukan semua tindakan untuk 
membuat atau mencabut perundang-undangan apabila 
perlu untuk melarang diskriminasi apapun semacam 
itu, dan mengambil semua tindakan yang tepat untuk 
memerangi intoleransi berdasarkan alasan-alasan agama 
atau kepercayaan lain dalam hal ini.
Pasal 5
1. Orang tua atau para wali hukum anak berhak mengatur 
kehidupan didalam  keluarga sesuai dengan agama atau 
kepercayaannya dan dengan mengingat pendidikan 
kesusilaan dalam membimbing semua anak hingga 
dewasa.
2. Setiap anak harus memperoleh hak untuk mempunyai 
akses ke pendidikan dalam persoalan agama atau 
kepercayaan sesuai dengan harapan-harapan orang 120
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
pembatasan seperti yang ditetapkan oleh undang-undang 
dan yang diperlukan untuk melindungi keselamatan umum, 
ketertiban umum, kesehatan masyarakat atau kesusilaan 
umum atau hak-hak dan kebebasan-kebebasan mendasar 
orang lain.
Pasal 2
1. Tidak seorang pun boleh dijadikan sasaran diskriminasi 
oleh Negara, lembaga, kelompok orang-orang atau orang 
manapun atas alasan-alasan agama atau kepercayaan lain.
2. Untuk tujuan-tujuan Deklarasi ini, ungkapan “intoleransi dan 
diskriminasi berdasarkan agama atau kepercayaan” berarti 
setiap pembedaan, pengabaian, larangan atau pengutamaan 
yang didasarkan pada agama atau kepercayaan dan yang 
tujuannya atau akibatnya meniadakan atau mengurangi 
pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan hak asasi 
manusia dan kebebasan-kebebasan mendasar atas dasar 
yang setara.
Pasal 3
Diskriminasi diantara insan manusia atas alasan-alasan 
agama atau kepercayaan merupakan penghinaan terhadap 
martabat manusia dan pengingkaran terhadap prinsip-prinsip 
Piagam PBB, dan harus dikutuk sebagai pelanggaran terhadap 
hak asasi manusia dan kebebasan mendasar yang dinyatakan 
dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan yang 
dinyatakan secara rinci dalam kovenan-Kovenan Internasional 
9
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
bermacam-macam, termasuk komunitas yang tidak beragama/ 
berkeyakinan.
Instrumen pokok hak asasi manusia yang mengatur jaminan 
KEBEBASAN BERAGAMA/ BERKEYAKINAN adalah Kovenan 
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1966) khususnya pasal 
18, yang mencakup: (1) kebebasan untuk menganut atau memilih 
agama atas kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, 
baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, 
baik di tempat umum atau tertutup, untuk mengejawantahkan 
agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, penaatan, 
pengamalan dan pengajaran; (2) tanpa pemaksaan sehingga 
terganggu kebebasannya untuk menganut atau memilih agama 
atau kepercayaan sesuai dengan pilihannya; (3) kebebasan untuk 
mengenjawantahkan agama atau kepercayaan seseorang hanya 
dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan apabila 
diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan 
atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar 
orang lain; (4) negara-negara pihak Konvenan ini berjanji untuk 
menghormai kebebasan orang tua, dan apabila diakui, wali 
hukum yang sah, untuk memastikan bahwa agama dan moral 
bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.
Indonesia pada tahun 2005 telah meratifikasi kovenan 
internasonal ini melalui UU No. 12/ 2005 tentang Pengesahan 
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Kovenan 
ini bersifat mengikat secara hukum (legaly binding) dan sebagai 
negara pihak  (state parties) yang telah meratifikasi, Indonesia 
berkewajiban memasukkannya sebagai bagian dari perundang-
undangan nasional dan memberikan laporan periodik kepada 
Dewan  HAM PBB.10
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
Instrumen hak asasi manusia lainnya yang mengatur jaminan 
kebebasan beragama/ berkeyakinan adalah Deklarasi Penghapusan 
Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama 
atau Keyakinan  (Declaration on The Elimination of All Forms of 
Intolerance and of Discrimination Based On Religion Or Belief) 
yang dicetuskan melalui resolusi Sidang Umum PBB No. 36/ 55 
pada 25 November 1981. Deklarasi ini jauh lebih rinci mengatur 
jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan dibanding Kovenan 
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, hanya saja karena 
bentuknya deklarasi maka bersifat tidak mengikat (non binding) 
bagi negara pihak. Meskipun tidak mengikat secara hukum, 
deklarasi ini mencerminkan konsensus yang luas dari komunitas 
internasional. Karena itu, memiliki kekuatan moral dalam praktik 
hubungan internasional pada umumnya. Sebagai negara anggota 
PBB, Indonesia tidak bisa mengabaikan deklarasi ini dalam 
menjalankan kewajiban memenuhi hak asasi warga negaranya.  
Pasal 6 Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan 
Diskriminasi Berdasarkan Agama dan Keyakinan:  
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Deklarasi ini dan dengan tunduk 
pada ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat 3 hak atas kebebasan 
pikiran, hati nurani, beragama atau keyakinan harus mencakup, 
antara lain, kebebasan-kebebasan berikut:
(a)  Beribadah atau berkumpul dalam hubungannya dengan 
suatu agama atau keyakinan, dan mendirikan serta mengelola 
tempat-tempat untuk tujuan-tujuan ini;
(b)  Mendirikan dan mengelola berbagai lembaga amal atau 
kemanusiaan yang tepat;
(c)   Membuat, memperoleh dan mempergunakan samapai sejauh 
memadai berbagai benda dan material yang diperlukan 
berkaitan dengan upacara atau adat istiadat suatu agama 
atau keyakinan;
119
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
Memperhatikan  berbagai manifestasi intoleransi dan 
adanya diskriminasi dalam persoalan-persoalan agama atau 
kepercayaan yang masih mudah terlihat di beberapa wilayah 
dunia,
Telah memutuskan untuk mengambil semua tindakan 
yang diperlukan untuk mempercepat penghapusan intoleransi 
tersebut dalam semua bentuk dan manifestasinya dan untuk 
mencegah dan memerangi diskriminasi atas alasan agama atau 
kepercayaan.
Menyatakan  Deklarasi ini tentang Penghapusan Semua 
Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau 
Keyakinan:
Pasal 1
1. Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan 
dan beragama. Hak  ini harus mencakup kebebasan untuk 
menganut suatu agama atau kepercayaan apapun menurut 
pilihannya, dan kebebasan, baik secara individu ataupun 
dalam masyarakat dengan  orang-orang lain dan didepan 
umum atau sendirian, untuk mewujudkan agama atau 
kepercayaannya dalam beribadah, penaatan, pengamalan 
dan pengajaran.
2. Tidak seorang pun dapat dijadikan sasaran pemaksaan 
yang akan mengurangi kebebasannya untuk menganut 
suatu agama atau kepercayaan menurut pilihannya.
3. Kebebasan untuk mewujudkan agama atau kepercayaan 
seseorang hanya boleh tuntuk pada pembatasan-118
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
atau kepercayaan apapun, telah menyebabkan, secara langsung 
atau tidak langsung, perang dan penderitaan besar pada insan 
manusia, terutama apabila mereka digunakan sebagai campur 
tangan pihak asing dalam urusan2 internal negara lain dan 
dapat memicu kebencian antar bangsa dan negara,
Mempertimbangkan bahwa agama atau kepercayaan, bagi 
setiap orang yang mengakui baik agama maupun kepercayaan, 
adalah salah satu dari unsur-unsur dasar dalam konsepsinya 
mengenai kehidupan dan bahwa kebebasan atas agama atau 
kepercayaan harus sepenuhnya dihormati dan dijamin,
Mempertimbangkan bahwa penting untuk meningkatkan 
pengertian, toleransi dan penghormatan dalam persoalan-
persoalan yang berkaitan dengan kebebasan atas agama atau 
kepercayaan dan untuk menjamin bahwa penggunaan agama 
atau kepercayaan untuk tujuan-tujuan yang bertentangan 
dengan Piagam, instrumen-instrumen PBB yang lain yang 
relevan dan tujuan-tujuan serta prinsip-prinsip Deklarasi ini tidak 
dapat diterima,
Meyakini  bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan 
seyogyanya juga memberikan sumbangan pada tercapainya 
tujuan-tujuan perdamaian dunia, keadilan sosial, dan 
persahabatan antar bangsa-bangsa, dan pada penghapusan 
ideologi-ideologi atau praktik-praktik kolonialisme dan 
diskriminasi rasial,
Mencatat dengan  kepuasan penetapan beberapa, dan 
berlakunya beberapa Konvensi dibawah naungan PBB dan 
badan-badan khusus, untuk penghapusan berbagai bentuk 
diskriminasi,
11
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
 (d)  Menulis, mengemukakan dan menyebarluaskan berbagai 
penerbitan yang relevan di bidang-bidang ini;
 (e)  Mengajarkan suatu agama atau keyakinan di tempat-tempat 
yang cocok untuk maksud-maksud ini;
(f)  Mengumpulkan dan menerima sumbangan-sumbangan 
keuangan dan sumbangan-sumbangan lain sukarela dari 
perseorangan atau lembaga;
(g)  Melatih, menunjuk, memilih atau mencalonkan dengan 
suksesi para pemimpin yang tepat yang diminta dengan 
persyaratan-persyaratan dan standar-standar agama atau 
keyakinan apapun;
(h)  Menghormati hari-hari istirahat, dan merayakan hari-hari 
libur dan upacara
(i)  Mendirikan dan mengelola kominikasi-komunikasi dengan 
seseorang dan masyarakat dalam persoalan-persoalan agama 
atau keyakinan pada tingkat nasional dan internasional.
upacara menurut ajaran-ajaran agama atau keyakinan 
seseorang;
Berdasarkan kedua instrumen hak asasi manusia di atas 
secara ringkas definisi operasional Kebebasan beragama/ 
berkeyakinan meliputi kebebasan untuk memeluk suatu agama 
atau keyakinan pilihannya sendiri, kebebasan baik secara 
sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain menjalankan 
ibadah agama atau keyakinan sesuai yang dipercayainya, serta 
mematuhi, mengamalkan dan mengajarkan secara terbuka atau 
tertutup, termasuk kebebasan berganti agama atau keyakinan, 
bahkan untuk tidak memeluk agama atau keyakinan sekalipun.5
  
5
 Pasal 18 Deklarasi Universal Hak-hak Manusia (1948): “Setiap orang 
berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk 
kebebasan berganti agama atau keyakinan, dan kebebasan untuk menyatakan 
agama atau keyakinan dengan cara mengajarkannya, mempraktikkannya, 
melaksanakan ibadahnya dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-
sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.”12
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
Intelektual Muslim liberal, Dawam Raharjo6
 dengan 
senada pernah mengemukakan pendapatnya tentang area-area 
kebebasan beragama/ berkeyakinan, antara lain: bebas memilih 
atau menentukan agama yang dipeluk termasuk menjalankan 
ibadah menurut agama dan kepercayaannya; kebebasan 
beragama berarti pula kebebasan untuk tidak beragama; 
kebebasan untuk berpindah agama; kebebasan beragama berarti 
pula bebas untuk menyebarkan agama (berdakwah); negara 
harus memperbolehkan perkawinan antara dua orang yang 
berbeda agama; dan dalam perkembangan hidup beragama, 
setiap warga berhak membentuk aliran keagamaan tertentu.
Laporan Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia ini 
berada di dalam kerangka monitoring (pemantauan) berbasis HAM, 
khususnya dalam rumpun Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan 
Politik. Oleh sebab itu metode penyusunan laporan ini didasarkan 
atas pendekatan ’pelanggaran’. Melalui pendekatan ’pelanggaran’ 
tersebut, laporan ini dapat dipahami sebagai upaya untuk memeriksa 
sejauh mana negara menjalankan kewajiban generiknya untuk 
menghormati dan melindungi kebebasan beragama/ berkeyakinan.
Hukum hak asasi manusia adalah hukum perdata 
internasional yang meletakkan negara sebagai para pihak (state 
parties); artinya negara adalah subyek hukum yang berkewajiban 
mematuhi hukum hak asasi manusia. Sebagai subyek hukum, 
maka setiap pelanggaran hak asasi manusia selalu meletakkan 
negara sebagai pelakunya. Pelanggaran hukum hak asasi 
manusia terjadi ketika negara tidak mematuhi norma-norma 
6
 M. Dawam Raharjo, Dasasila Kebebasan Beragama, Media Indonesia, 
22/ 11/ 2005.
117
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
Lampiran 1
Deklarasi tentang Penghapusan Segala Bentuk 
Intoleransi dan Diskriminasi berdasarkan 
Agama atau Keyakinan
(Diproklamasikan oleh Majelis Umum PBB 
pada 25 November 1981)
Majelis Umum,
Mempertimbangkan bahwa salah satu dari prinsip2 dasar 
Piagam PBB adalah bahwa kehormatan dan persamaan adalah 
melekat pada semua insan manusia, dan bahwa semua Negara 
Anggota telah  berjanji untuk mengambil tindakan bersama dan 
terdiri dalam kerjasama dengan PBB untuk meningkatkan dan 
mendorong penghormatan universal dan penaatan terhadap 
hak asasi manusia dan kebebasan mendasar untuk semua, tanpa 
perbedaan mengenai ras, jenis kelamin, bahasa atau agama,
Mempertimbangkan bahwa Deklarasi Universal Hak Asasi 
Manusia dan Konvenan-Konvonen Internasional tentang Hak 
Asasi Manusia menyatakan prinsip-prinsip non-diskriminasi dan 
persamaan didepan hukum dan hak atas kebebasan berpikir, 
berkeyakinan. Agama atau kepercayaan,
Mempertimbangkan bahwa ketidakpedulian dan 
pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan kebebasan mendasar, 
terutama hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan,agama 116
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
13
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
yang mengikatnya, yang tertuang dalam kovenan dan konvensi-
konvensi internasional, di mana negara telah berjanji untuk 
mematuhinya melalui proses ratifikasi. Dalam kapasitasnya 
sebagai subyek hukum, negara berkewajiban menghormati (to 
respect) dan melindungi (to protect) hak-hak asasi manusia. 
Penegasan epistemologi HAM sebagaimana dipaparkan 
di atas juga semakin memperjelas perbedaan hukum hak asasi 
manusia dan hukum pidana internasional, yang meletakkan 
individu sebagai subyek hukum. Sebagai sebuah hukum 
perdata, jenis-jenis hukuman yang dikenal dalam hukum hak 
asasi manusia adalah sanksi internasional, kewajiban perubahan 
kebijakan, dan denda bagi korban yang haknya dilanggar dalam 
bentuk kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Sedangkan dalam 
hukum pidana internasional (Statuta Roma), selain subyek 
hukumnya adalah individu, jenis hukuman yang ditimpakan 
kepada pelakunya juga berbentuk hukuman pidana penjara. 
Indonesia sebagai negara pihak dalam hukum internasional 
hak asasi manusia berkewajiban  (obligation of the state) 
untuk menghormati  (to respect) dan melindungi  (to protect) 
kebebasan setiap orang atas agama atau keyakinan.
7
  Prinsip 
dasar kewajiban negara untuk menghormati hak asasi manusia 
adalah bahwa negara tidak melakukan hal-hal yang melanggar 
integritas individu atau kelompok atau mengabaikan kebebasan 
mereka. Sementara kewajiban untuk melindungi adalah 
mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk melindungi 
hak seseorang/ kelompok orang atas kejahatan/ pelanggaran 
hukum/ kekerasan yang dilakukan oleh individu atau kelompok 
7
 Pasal 18 Kovenan Internasional Hak- Sipil hak dan Politik (ICCPR).14
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
lainnya, termasuk mengambil tindakan pencegahan terjadinya 
pengabaian yang menghambat penikmatan kebebasan mereka. 
Meski sifat dasar HAM tidak dapat dihilangkan ataupun dicabut 
dan bersifat total pada setiap manusia, namun berdasarkan prinsip 
siracusa yang telah disepakati, terdapat dua perlakuan terhadap 
implementasi HAM, yaitu: prinsip non-derogable rights  (hak-hak 
yang tak dapat ditunda atau ditangguhkan pemenuhannya) dan 
derogable rights (hak-hak yang dapat ditunda atau ditangguhkan 
pemenuhannya). Prinsip siracusa menggarisbawahi bahwa 
hak-hak yang dapat ditunda atau ditangguhkan hanya  dapat 
diberlakukan pada situasi atau kondisi tertentu yang dianggap 
dapat membahayakan kepentingan umum. 
Sementara prinsip non-derogable rights menegaskan hak 
yang bersifat mutlak/ absolut, dan oleh karenanya tak dapat 
ditangguhkan atau ditunda dalam situasi atau kondisi apapun. 
Hak-hak yang terkandung dalam prinsip ini mencakup: hak 
hidup (tidak dibunuh), hak atas keutuhan diri (tidak disiksa, 
diculik, dianaya, diperkosa), hak untuk tidak diperbudak, hak 
untuk bebas beragama, berpikir dan berkeyakinan, hak untuk 
diperlakukan sama di muka hukum, hak untuk tidak dipenjara atas 
kegagalannya memenuhi kewajiban kontraktual, serta hak untuk 
tidak dipidana berdasarkan hukum yang berlaku surut. Dengan 
demikian, segala jenis tindakan yang dapat mengakibatkan 
hilangnya hak seseorang ataupun sekelompok orang untuk bebas 
beragama—sebagai salah satu unsur  non-derogable rights—
dapat digolongkan sebagai pelanggaran HAM.
8
 
8
 UNESCO, Tolerance: The Threshold of Peace. A teaching/ Learning 
Guide for Education for Peace, Human Rights and Democracy (Preliminary 
version). Paris: UNESCO, 1994, h. 16.
115
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
19/VI/PUU/2008, Selasa, 12 Agustus 2008     
SETARA Institute,  Toleransi dalam Pasungan: Hasil Survey 
Pandangan Kaum Muda terhadap Masalah Kebangsaan, 
Pluralitas, dan Kepemimpinan Nasional, Jakarta, Mei 2008
SETARA Institute, Tunduk pada Penghakiman Masa: Pembenaran 
Negara atas Persekusi Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan, 
Jakarta Desember 2007 
Sihombing, Uli Parulian, dkk.,   Menggugat BAKOR PAKEM: Kajian 
Hukum terhadap Pengawasan Agama dan Kepercayaan di 
Indonesia, ILRC, Jakarta 2008 
Subair, Formalisasi Islam, Kelompok Islam Keras dan Kebebasan 
Beragama di Sulawesi Selatan, Laporan untuk SETARA 
Institute, Desember 2008. 
Sudarto, Kebebasan Agama dalam Cita dan Realitas, Laporan 
untuk SETARA Institute, Desember 2008  
The Wahid Institute, Menapaki Bangsa yang Kian Retak,   Laporan 
Tahunan Pluralisme Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia, 
Jakarta, Desember 2008 
U.S. Department of Justice,  Hate Crime: The Violence of 
Intolerance http://www. usdoj.gov/crs/pubs/htecrm.htm, 
diakses pada 1 desember 2008 
UNESCO, Tolerance:  The Threshold of Peace. A teaching/ 
Learning Guide for Education for Peace, Human Rights and 
Democracy (Preliminary version). Paris: UNESCO, 1994
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945114
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
2007/10, diakses pada 18 Juli 2008 
Hardiman, Fransisco Budi, Dr., Agama dalam Ketegangan antara 
Ruang Publik dan Ruang Privat, Makalah Seminar pada 
tanggal 08 Maret 2002, ICRP Jakarta
http://www.mui.or.id/mui_in/about.php, diakses pada 14 
September 2008
ICRP, Peminggiran di seberang Pengakuan, Sebuah penelitian 
yang Melihat Sejauh Mana perhatian Negara Terhadap 
Eksistensi Agama-agama dan Penganut Penghayat 
Kepercayaan terhadap Tuhan YME di Indonesia, 2005  
Komentar Umum 22 tentang Pasal 18, ICCPR Komite HAM PBB, 
1993
Komnas HAM, Lembar Fakta HAM 15, Hak Sipil dan Politik: 
Komite Hak Asasi Manusia, Jakarta, 1998, h. 190   
Komnas Perempuan,  10 Tahun Reformasi: Kemajuan dan 
Kemunduran Perjuangan Melawan Kekerasan dan 
Diskriminasi Berbasis Jender,  Catatan Tahunan tentang 
Kekerasan terhadap Perempuan 2007, Maret 2008 
Komnas Perempuan,  Laporan Pemantauan HAM Komnas 
Perempuan dan Anak Ahmadiyah: Korban Diskriminasi 
Berlapis, Jakarta, 22 Mei 2008 
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik
Raharjo, M. Dawam,  Dasasila Kebebasan Beragama, Media 
Indonesia, 22/ 11/ 2005 
Risalah Sidang Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian 
UU No. 3/ 2006 tentang Peradilan Agama, Nomor Perkara 
15
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
Konstitusi Indonesia, dalam pendokumentasian ini juga 
digunakan sebagai parameter, meskipun sesungguhnya konstitusi 
Indonesia menurut pandangan SETARA Institute mengandung 
ambiguitas dan bias tafsir di ranah implementatif, mengandung 
muatan diskriminatif, dan tidak mengakomodasi semua golongan 
agama/ keyakinan, termasuk mereka yang tidak ber-Tuhan. 
PELANGGARAN HAK ATAS KEBEBASAN BERAGAMA/ 
BERKEYAKINAN  (violation of right to freedom of religion or 
belief) adalah setiap bentuk kegagalan atau kelalaian negara 
dalam implementasi seperti campur tangan atas kebebasan 
orang atau tidak melindungi seseorang atau kelompok orang 
yang menjadi sasaran intoleransi atau tindak pidana berdasarkan 
agama atau keyakinan.
DISKRIMINASI DAN INTOLERANSI BERDASARKAN 
AGAMA,
9
 merupakan bentuk pelanggaran kebebasan 
beragama/ berkeyakinan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 
ayat 2 Deklarasi tentang Penghapusan Semua Bentuk Intoleransi 
dan Diskriminasi Berdasarkan Agama/ Keyakinan, yaitu, 
”setiap pembedaan, pengabaian, larangan atau pengutamaan 
9
 Pasal 1 Deklarasi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi 
dan Diskriminasi Atas Dasar Agama atau Keyakinan (1981): “[1] Setiap orang 
mempunyai hak atas kebebasan berpikir, berkesadaran dan beragama. Hak 
ini termasuk kebebasan memeluk agama atau keyakinan apa pun sesuai 
dengan pilihannya, dan kebebasan, baik secara individu atau berkelompok, 
secara tertutup atau terbuka, mengejawantahkan agama atau keyakinannya 
dalam bentuk ibadat, ritual, praktik dan pengajaran; [2] Tak seorangpun boleh 
mendapat paksaan yang bisa mengganggu kebebasannya memeluk agama 
atau keyakinan pilihannya; [3] Kebebasan seseorang untuk menjalankan 
agama atau keyakinannya hanya bisa dibatasi oleh ketetapan hukum dan 
penting untuk melindungi keselamatan, ketenteraman dan moral publik serta 
hak dan kebebasan dasar orang lain.”16
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
(favoritisme) yang didasarkan pada agama atau kepercayaan 
dan tujuannya atau akibatnya meniadakan atau mengurangi 
pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan hak-hak asasi 
manusia dan kebebasan-kebebasan fundamental atas suatu 
dasar yang sama,” seperti tidak mau menerima suatu kelompok 
atau mengungkapkan dan mengekspos kebencian terhadap 
kelompok lain berdasarkan perbedaan agama atau keyakinan.
Mengacu pada definisi di atas, maka ada dua bentuk 
cara negara melakukan pelanggaran, yaitu; [a] dengan cara 
melakukan tindakan aktif yang memungkinkan terjadinya 
pembatasan, pembedaan, campur tangan, dan atau menghalang-
halangi penikmatan kebebasan seseorang dalam beragama/ 
berkeyakinan (by commission); dan [b] dengan cara membiarkan 
hak-hak seseorang menjadi terlanggar, termasuk membiarkan 
setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang tidak 
diproses secara hukum (by omission).  
Selain mendokumentasikan pelanggaran kebebasan 
beragama/ berkeyakinan yang dilakukan oleh negara, 
pemantauan ini juga mendokumentasikan tindak pidana yang 
dilakukan oleh warga negara terhadap warga negara lainnya 
yang berhubungan dengan kebebasan beragama/ berkeyakinan. 
Tindakan warga negara ini secara garis besar mencakup [a] 
tindakan kriminal berupa pembakaran rumah ibadah, intimidasi, 
kekerasan fisik, dan lain-lain; dan [b] tindakan intoleransi.  
Dengan kerangka demikian, laporan pemantauan ini 
membagi 4 kategori tindakan pelanggaran dengan subyek 
hukum dan pertanggungjawaban berbeda; 
[1]  tindakan aktif negara (by commission), 
113
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
Bahan Bacaan
Abdullah, M. Amin, MUI, Fatwa dan Otoritas Keagamaan di 
Indonesia, Seminar: Kritik atas Kebebasan Beragama 
di Indonesia, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan 
Kebudayaan (PMB), Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia 
(LIPI), Jakarta ,  23 September 2005  
Concluding observations of the Committee against Torture, 
dalam sidang Komite Anti Penyiksaan sessi 40, 28 April – 
16 Mei 2008. CAT/C/IDN/CO/2, butir 19
CRCS, UGM, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesi 
2008, 2008
Davis, Derek H., The Evolution of Religious Liberty as a Universal 
Human Right, dipublikasi kembali pada tanggal 5 Desember 
2006.
Deklarasi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi 
dan Diskriminasi Atas Dasar Agama atau Keyakinan (1981) 
Faiz, Pan Mohamad,  Constitutional Review dan Perlindungan 
Kebebasan Beragama, http://jurnalhukum.blogspot.com/ 112
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
17
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
[2]  tindakan pembiaran yang dilakukan oleh negara  (by 
omission), 
[3]  tindakan kriminal warga negara, dan 
[4]  intoleransi yang dilakukan oleh masyarakat. 
Terhadap pelanggaran kategori  by commission  dan  by 
omission kerangka legal untuk mempersoalkannya adalah 
hukum hak asasi manusia yang terdapat dalam kovenan sipil dan 
politik dan yang terdapat di dalam sejumlah konvensi-konvensi 
hak asasi manusia yang sudah diratifikasi, plus konstitusi dan 
hukum domestik yang mengatur kewajiban negara. Sedangkan 
untuk kategori tindakan kriminal yang dilakukan oleh warga 
negara dan intoleransi, kerangka legal yang bisa digunakan 
adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
INTOLERANSI merupakan turunan dari kepercayaan 
bahwa kelompoknya, sistem kepercayaan atau gaya hidupnya 
lebih tinggi daripada yang lain. Hal ini dapat menimbulkan 
sejumlah konsekuensi dari kurangnya penghargaan atau 
pengabaian terhadap orang lain hingga diskriminasi yang 
terinstitusionalisasi, seperti apartheid atau penghancuran orang 
secara disengaja melalui genosida. Seluruh tindakan semacam itu 
berasal dari penyangkalan nilai fundamental seorang manusia.
10 
KEJAHATAN INTOLERANSI DAN KEBENCIAN adalah 
tindakan-tindakan yang dimotivasi oleh kebencian atau bias 
terhadap seseorang atau sekelompok orang berdasarkan 
gender, ras, warna kulit, agama, asal negara, dan/atau orientasi 
seksualnya. Tindakan intoleransi dapat merupakan 
10
 U.S. Department of Justice, Hate Crime: The Violence of Intolerance 
http://www. usdoj.gov/crs/pubs/htecrm.htm, diakses pada 1 desember 2008.18
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
kejahatan berat, seperti penyerangan atau berkelahi, tapi 
tidak selalu. Dapat juga berupa tindakan-tindakan yang lebih 
ringan, seperti ejekan terhadap ras/ agama seseorang. Komunikasi 
tertulis, termasuk grafiti atau surat tak bernama, yang menunjukkan 
prasangka atau intoleransi terhadap seseorang atau  sekelompok 
orang juga merupakan kejahatan berdasar pada kebencian. Termasuk 
vandalisme (perusakan) dan percakapan berdasarkan intoleransi 
maupun apa yang dianggap beberapa orang adalah lelucon.
Kejahatan berdasar pada kebencian adalah kekerasan  intoleransi 
dan prasangka yang bertujuan untuk menyakiti dan mengintimidasi 
seseorang karena ras, suku, asal negara, agama, orientasi seksual 
dan karena faktor different able. Penyebar kebencian menggunakan 
peledakan, pembakaran, senjata, vandalisme, kekerasan fisik, dan 
ancaman kekerasan verbal untuk menanamkan ketakutan kepada 
korbannya, menyebabkan mereka menjadi rentan terhadap 
penyerangan lebih lanjut dan merasa terasingkan, tidak berdaya, 
curiga dan ketakutan. Sebagian yang lainnya mungkin menjadi 
frustasi dan marah jika mereka mengangap bahwa pemerintah 
dan kelompok lain di komunitasnya tidak akan melindungi mereka. 
Ketika pelaku kebencian tidak dituntut sebagai kriminal dan tindakan 
mereka dinyatakan sebagai kesalahan, kejahatan mereka dapat 
melemahkan komunitas bahkan komunitas dengan hubungan ras 
yang paling kuat/ sehat sekalipun. 
11
11
 Pasal ini merupakan area kontestasi penafsiran atas “hate crimes”. 
Selama ini penggunaan pasal ini selalu diidentikkan dengan pasal 156 a yang 
merupakan produk PNPS No.1/1965, yang justru digunakan untuk menjerat 
orang yang dituduh beraliran sesat. Pasal ini digunakan juga oleh Jaksa 
Penuntut Umum dalam sidang kasus Rizieq Shihab dan Munarman. Tapi hakim 
menolak penggunaan pasal ini.
111
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
diberikan kembali kepada setiap pemeluk agama/ keyakinan 
untuk bebas mendirikan rumah ibadah.
11. Masyarakat, pemuka masyarakat, dan kalangan pendidikan 
perlu mendorong penguatan kembali nilai-nilai toleransi 
yang menjadi modal sosial bangsa, di masa lalu yang saat 
ini telah terkikis oleh berbagai perubahan sosial. Perlu 
mengembangkan pendidikan kewargaan, pendidikan 
religiusitas universal, dan pendidikan budi pekerti.[]
 110
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
6. Presiden atau menteri yang mewakilinya perlu melakukan 
evaluasi atas pelaksanaan Peraturan Bersama Menteri 
tentang No. 08 dan No. 09/ 2006 tentang Pedoman 
Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah 
Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, 
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, 
Pendirian Rumah Ibadat.  
7. Departemen Dalam Negeri dan Departemen Hukum dan 
HAM segera menyusun mekanisme yang holistik dalam 
rangka prevensi dan evaluasi peraturan daerah yang 
diskriminatif jender dan bertentangan dengan hak asasi 
manusia, termasuk dengan konstitusi.
8. Partai politik harus mengintegrasikan isu jaminan kebebasan 
beragama/ berkeyakinan dan praktik keberagamaan yang 
iklusif dalam agenda-agenda politik partainya, karena 
partai politik juga memiliki kewajiban untuk mendorong 
pemenuhan hak asasi manusia. 
9. Partai politik dan elemen politik lainnya harus menghentikan 
praktik politisasi agama yang hanya dimaksudkan untuk 
menghimpun dukungan publik untuk memilihnya dalam 
setiap arena kontestasi politik, dengan melakukan 
manipulasi dan pembodohan publik, yang merugikan 
banyak pihak.   
10. Para pemeluk agama/ keyakinan perlu memanfaatkan 
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagai forum 
dialog dalam memecahkan masalah kebebasan beragama 
dan memperkuat iklim toleransi. Birokratisasi FKUB dalam 
memberikan izin pendirian rumah ibadah sepatutnya 
19
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
Kejahatan intoleransi dan kebencian merupakan salah satu 
tindakan kriminal dengan obyek individu, yang berhubungan 
dengan kebebasan beragama/ berkeyakinan. Untuk jenis 
kejahatan ini pertanggungjawaban dialamatkan pada individu-
individu sebagai subyek hukum pidana. Sedangkan tanggung 
jawab negara adalah melindungi setiap orang dari ancaman 
intoleransi dan memprosesnya secara hukum ketika sebuah 
kekerasan telah terjadi.
UNESCO mencatat beberapa gejala intoleransi dan indikator 
perilakunya: (UNESCO: Tolerance: the threshold of peace. A 
teaching/learning guide for education for peace, human rights and 
democracy (Preliminary version). Paris: UNESCO. 1994, p. 16.)
bahasa: pencemaran dan bahasa yang pejoratif atau eksklusif 
yang menghilangkan nilai, merendahkan dan tidak memanusiakan 
kelompok budaya, ras, bangsa atau seksual. Penyangkalan hak 
bahasa.
membuat stereotipe: mendeskripsikan semua anggota suatu 
kelompok dengan dikarakteristikkan oleh atribut yang sama – 
biasanya negative.
menyindir: menarik perhatian pada perilaku, atribut dan 
karakteristik tertentu dengan tujuan mengejek atau menghina.
prasangka: penilaian atas dasar generalisasi negatif dan stereotipe 
daripada atas dasar fakta aktual dari sebuah kasus atau perilaku 
spesifi k individu atau kelompok.
pengkambinghitaman: menyalahkan kejadian traumatis atau 
permasalahan sosial pada orang atau kelompok tertentu.
diskriminasi: pengecualian dari jaminan sosial dan kegiatan 
dengan hanya berlandaskan pada alasan yang merugikan.
pengasingan (ostracism): berperilaku seolah yang lainnya tidak 
hadir atau tidak ada. Penolakan untuk berbicara kepada atau 
mengakui pihak lain, atau kebudayaannya.20
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
pelecehan: perilaku yang disengaja untuk mengintiminasi 
dan merendahkan pihak lain, kerap dimaksudkan sebagai cara 
mengeluarkan mereka dengan paksa dari komunitas, organisasi 
atau kelompok.
penajisan dan penghapusan: bentuk-bentuk penodaan simbol 
atau struktur keagamaan atau kebudayaan yang ditujukan untuk 
menghilangkan nilai dan mengejek kepercayaan dan identitas 
mereka yang kepadanya struktur dan simbol ini berarti.
gertakan  (bullying): penggunaan kapasitas fi sik yang superior 
atau sejumlah besar (orang – ed.) untuk menghina orang lain atau 
menghilangkan kepemilikan atau status mereka.
pengusiran:  pengeluaran secara resmi atau paksa atau 
penyangkalan hak untuk masuk atau hadir di sebuah tempat, 
dalam kelompok sosial, profesi atau tempat lain dimana ada 
kegiatan kelompok, termasuk di mana keberlangsungan hidup 
tergantung, seperti tempat kerja atau tempat perlindungan 
(shelter), dan sebagainya.
Dalam konteks hukum Indonesia, kejahatan jenis ini 
sebenarnya diakomodasi oleh Kitab Undang-undang Hukum 
Pidana (KUHP), Pasal 15612
 yang menyebutkan:
“barangsiapa menyatakan rasa permusuhan, kebencian atau 
penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat 
12
 Pasal 4 (2) Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik 
menyebutkan bahwa Negara tidak boleh mengabaikan hak kebebasan 
beragama atau kepercayaan, termasuk ketika darurat umum. Dengan 
demikian, hak kebebasan beragama atau kepercayaan diberikan prioritas 
lebih tinggi dari pada kebebasan berekspresi atau kebebasan berasosiasi. 
Hal ini tidak berarti bahwa kepentingan-kepentingan Negara yang lain tidak 
akan pernah melampaui kebebasan beragama atau kepercayaan. Tetapi, hal 
ini berarti bahwa bahkan dalam keadaan darurat umum, hak fundamental 
ini dapat dilampaui hanya jika dijamin di bawah klausul pembatasan yang 
berlaku. Lihat juga Komnas HAM, Lembar Fakta HAM15, Hak Sipil dan Politik: 
Komite Hak Asasi Manusia, Jakarta, 1998, h. 190
109
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
melakukan amandemen konstitusi dalam rangka penyem-
purnaan jaminan hak-hak konstitusional warga negara, 
termasuk jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan. 
2. Presiden harus mencabut SKB Pembatasan Ahmadiyah, 
karena secara formal dan substansial kebijakan ini jelas 
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan 
termasuk dan yang utama bertentangan dengan konstitusi. 
SKB juga telah secara nyata mengeskalasi pelanggaran 
kebebasan beragama/ berkeyakinan di tahun 2008. 
3. Presiden dan DPR RI segera melakukan perubahan berbagai 
peraturan perundang-undangan yang membatasi jaminan 
kebebasan beragama/ berkeyakinan. Pemerintah dan DPR 
RI juga berkewajiban melakukan harmonisasi peraturan 
perundang-undangan dengan Kovenan dan Konvensi 
yang telah diratifikasi, khususnya terkait dengan jaminan 
kebebasan beragama/ berkeyakinan. 
4. Presiden dan DPR RI perlu mempertimbangkan pentingnya 
UU Anti Intoleransi Agama dengan melakukan kajian 
akademik dan mempersiapakan rancangan undang-
undang.
5. Kepolisian Republik Indonesia wajib tanpa terkecuali 
memberikan perlindungan kepada setiap warga negara 
yang mengalami kekerasan akibat persekusi dan intoleransi. 
Polri juga perlu meningkatkan pendidikan hak asasi 
manusia dan peningkatan kapasitas aparatnya, khususnya 
dalam konteks memberikan jaminan kebebasan beragama/ 
berkeyakinan. 108
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
diproduksinya. Ambiguitas peran negara dalam menjamin 
kebebasan beragama/ berkeyakinan sekaligus telah 
menunjukkan bahwa elit negara telah dan terus melakukan 
politisasi agama, di mana setiap keberpihakan dan 
tindakannya akan sangat bergantung pada seberapa besar 
citra yang akan terpoles dan seberapa besar dukungan 
yang akan direngkuh. Di tengah kontestasi politik Pemilu 
2009, semua pihak akan memilih isu-isu yang paling 
sedikit mendatangkan kerugian politik; dan sebaliknya 
akan mengeksploitasi isu yang dapat mendatangkan 
keuntungan politik.
15. Kerentanan daerah-daerah dalam merespon kebijakan 
pemerintah di tingkat pusat terkait jaminan kebebasan 
beragama/ berkeyakinan menun-jukkan politisasi agama 
juga menjadi arena kontestasi elit politik di daerah. Pada 
saat yang bersamaan, temuan-temuan pemantauan ini 
menunjukkan rendahnya pendidikan politik masyarakat, 
sehingga rentan untuk dipolitisasi.
16. Negara masih belum mampu memenuhi janji ratifikasi 
berbagai kovenan dan konvensi hak asasi manusia 
yang sudah mengikat secara hukum  (legally binding) 
yang terbukti dengan tetap mempertahankan berbagai 
perundang-undangan yang secara formal dan substansial 
cacat hukum karena tidak berkesesuaian dengan prinsip-
prinsip hak asasi manusia.[]
5.2. REKOMENDASI
1. Presiden dan MPR RI perlu mempertimbangkan perlunya 
21
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
Indonesia di muka umum, diancam dengan pidana penjara paling 
lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu 
lima ratus rupiah.”
Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti 
tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu 
atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, 
tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut 
hukum tata negara.”
Namun demikian, dalam praktik hukum Indonesia, pasal-
pasal ini justru dipergunakan sebaliknya, yakni untuk menjerat 
orang-orang yang dituduh beraliran sesat dan menodai agama. [] 
 22
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
107
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
Juni di Monas; dan kedua, pernyataan pengakuan atas 
keberagaman dan I’tikad untuk menjaganya, sebagaimana 
disampaikan pada Perayaan Natal 2008. 
12. Laporan ini menunjukkan bahwa tingkat intoleransi baik 
di masyarakat maupun di tubuh negara, melalui aparat 
negara, semakin menguat; kebalikannya, toleransi semakin 
melemah. Indikator penguatan itu antara lain meningkatnya 
jumlah peristiwa dan tindakan pelanggaran kebebasan 
beragama/ berkeyakinan, pilihan politik negara pada 
pembatasan atas aliran keagamaan, dan penyebaran aktor 
yang semakin ekspansif. Jika pada tahun 2007 aktor pelaku 
tindakan kriminal memusat pada sejumlah organisasi Islam 
radikal, di tahun 2008 aktor pelaku semakin menyebar baik 
sebagai individu atau kelompok-kelompok tanpa identitas 
yang secara sporadis melakukan tindakan kriminal dan 
intoleransi. 
13. Di samping kekhawatiran akan memburuknya kondisi 
kebebasan bera-gama/ berkeyakinan, tumbuh dan 
menguatnya organisasi masyarakat sipil yang mempromosikan 
jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan telah 
memperkuat para pembela jaminan kebebasan beragama/ 
berkeyakinan. 
14. Negara, sesungguhnya memiliki otoritas dan kewenangan 
untuk menjamin kebebasan beragama/ berkeyakinan. 
Minusnya kapasitas pemerintah untuk bertindak tegas 
dan menjamin kebebasan ini telah menyeret negara 
berpihak dan bertindak intoleran dan diskriminatif dengan 
melakukan pembatasan melalui sejumlah kebijakan yang 106
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
Padang tertanggal 20 November 2008 tentang Pelarangan 
dan Penurunan Papan Nama Ahmadiyah Kota Padang. 
9. Terkait dengan peraturan daerah yang diskriminatif jender 
dan bertentangan dengan HAM, pemerintah di tingkat 
pusat, khususnya Departemen Hukum dan HAM yang 
memiliki kewenangan preventif, Departemen Dalam 
Negeri yang memiliki kewenangan evaluatif dan represif, 
dan Mahkamah Agung yang memiliki kewenangan 
represif melalui judicial review belum mampu menciptakan 
mekanisme efektif untuk memastikan konsistensi peraturan 
daerah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih 
tinggi, termasuk dengan konstitusi.
10. Problematika konstitusional terkait dengan jaminan 
kebebasan beragama/ berkeyakinan dipicu dan dilahirkan 
oleh adanya bias tafsir atas Pasal 29 (2) dan pembatasan 
jaminan kebebasan pada Pasal 28J (2) yang tidak lazim 
dalam kerangka hak asasi manusia. Bias tafsir negara 
dan pembatasan yang tidak lazim telah menjadi pemicu 
dasar dan pembenar formal seluruh peristiwa pelanggaran 
kebebasan beragama/ berkeyaki-nan di Indonesia. 
11. Dari temuan pemantauan, tidak ada perubahan berati 
terkait legislasi/ kebijakan yang memperkuat jaminan 
kebebasan beragama/ berkeya-kinan. Hanya dua 
pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang bisa 
dicatat sebagai terobosan deklaratif yang cukup berarti bagi 
penguatan jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan; 
pertama, pernyataan dan komitmennya menuntaskan 
kasus penyerangan kelompok Islam terhadap AKKBB, 1 
23
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
3
TEMUAN-TEMUAN
3.1. GAMBARAN UMUM
Jaminan konstitusional kebebasan beragama/ berkeyakinan, 
sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 hingga 
tahun 2008 tidak banyak mengalami kemajuan implementatif. 
Sebagaimana pada tahun-tahun sebelumnya, di tahun 2008 
pelanggaran terhadap kebebasan beragama/ berkeyakinan 
masih terus terjadi, bahkan mengalami peningkatan. 
Negara, baik di ranah legislatif, eksekutif, maupun yudikatif 
belum mampu menciptakan terobosan-terobosan konstruktif 
bagi terpenuhi jaminan hak konstitusional warga negara untuk 
bebas beragama/ berkeyakinan. Di tahun 2008 justru terjadi 
arus penyeragaman yang lebih sistemik melalui legislasi dan 
kebijakan dengan pijakan pandangan monolitik berdasarkan 
landasan agama dan moralitas. 
Gerak arus politik penyeragaman tidak saja dimonopoli oleh 
kekuatan-kekuatan politik tertentu saja, organisasi massa Islam 24
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
yang selama ini gemar bertindak intoleran, tapi telah merasuki 
para penyelenggara negara dan menyatu dalam tubuh negara. 
Kontestasi di DPR RI dan Pemerintah yang secara tidak rasional 
memaksakan diri mengesahkan RUU Pornografi menjadi UU 
Pornografi adalah fakta yang bisa disaksikan di sepanjang 
tahun 2008. Sebagian besar warga disuguhi tontonan politik 
dan i’tikad politik tidak bermutu dengan memanipulasi politik 
penyeragaman atas nama agama dan moralitas. Pembodohan 
kolektif justru dilakukan oleh para penyelenggara negara yang 
memiliki otoritas legislasi: semua itu dilakukan demi terus 
menerus memupuk dan menghimpun dukungan politik dan 
demi kekuasaan. Logika politik mayoritas versus minoritas, yang 
bermoral dan tidak bermoral, yang baik dan yang buruk, telah 
mendominasi praktik ketetanegaraan Indonesia. Konstitusi 
yang seharusnya menjadi konsensus dan instrumen pengatur 
relasi antar warga negara dan relasi warga negara dengan 
negara telah digeser dan digantikan oleh logika-logika politik 
penyeragaman itu. 
Di tahun 2008, kebebasan beragama/ berkeyakinan kembali 
gagal menda-patkan pengakuan utuh dari konstitusi akibat 
bias tafsir konstitusional yang tetap dipelihara oleh elit politik 
negara. Pada saat yang bersamaan, negara justru memproduksi 
kebijakan yang melegalkan tindakan penyeragaman dengan 
dalih penodaan dan penistaan agama. Dalam situasi yang 
demikian, pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan 
menjadi semakin marak.
13
 Pendapat ini menegaskan hipotesa 
13
 Pandangan yang dikemukakan oleh sebagian besar peserta FGD di 
Bandung 10 Nopember 2008, Kalimantan Selatan 31 Oktober 2008, dan di 
Jakarta 13 Nopember 2008.
105
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
MMI masing-masing (12 tindakan), ormas Islam lain (55 
tindakan), kelompok tidak teridentifikasi (59 tindakan), dan 
individu 20 tindakan. 
6. Dari 367 tindakan pelanggaran, hingga memasuki tahun 
2009, negara belum melakukan tindakan apapun kecuali 
memperkarakan penyerangan 1 Juni, di Monas, yang 
menjerat Rizieq Shihab dan Munarman.
7. Pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan di tahun 
2008 paling banyak menimpa Jemaat Ahmadiyah (238 
tindakan pelanggaran) dari dari mulai korban intoleransi, 
represi negara, pembiaran negara, dan tindakan kriminal 
warga negara/ kelompok masyarakat. Selanjutnya individu 
(48 tindakan), aliran keagamaan/ keyakinan lain (15 
tindakan) dan umat Kristiani (15 tindakan). 
8. Di tahun 2008, kebebasan beragama/ berkeyakinan kembali 
gagal menda-patkan pengakuan utuh dari konstitusi 
akibat bias tafsir konstitusional yang tetap dipelihara oleh 
elit politik negara. Pada saat yang bersamaan, negara 
justru memproduksi kebijakan yang melegalkan tindakan 
penyeragaman dengan dalih penodaan dan penistaan 
agama. Di bidang legislasi, di samping sejumlah perundang-
undangan dan kebijakan restriktif yang sudah ada, di tahun 
2008 tercatat 1 legislasi dengan landasan moralitas dan 
agama (UU No.42/ 2008 tentang Pornografi) dan 3 kebijakan 
yang semakin merstriksi dan mereduksi jaminan kebebasan 
beragama/ berkeyakinan: SKB Pembatasan Ahmadiyah, SK 
Gubernur Sumatera Selatan tentang Larangan Ahmadiyah, 
dan Rekomendasi Pakem Kota Padang kepada Walikota 104
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
adanya SKB Pembatasan Ahmadiyah.
3. Dilihat dari wilayah terjadinya peristiwa pelanggaran, tiga 
provinsi menunjukkan angka pelanggaran yang sangat 
tinggi jika dibandingkan dengan provinsi lainnya. Jawa 
Barat (73 peristiwa),  Sumatera Barat (56 peristiwa) dan 
Jakarta (45 peristiwa). Tiga provinsi ini memiliki tingkat 
toleransi yang rendah sekaligus menyimpan potensi konflik 
agama cukup tinggi. 
4. Dari 367 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/ 
berkeyakinan, terdapat 188 pelanggaran  yang melibatkan 
negara sebagai aktornya, baik melalui 99 tindakan 
aktif negara  (by commission), maupun 89 tindakan 
pembiaran yang dilakukan oleh negara (by omission). 
Untuk pelanggaran yang melibatkan negara sebagai aktor, 
kerangka legal pertanggungjawabanya adalah hukum 
hak asasi manusia, yang mengikat negara akibat ratifikasi 
kovenan dan konvensi. Institusi negara yang paling banyak 
melakukan pelanggaran adalah kepolisian (121 tindakan), 
Bupati/ Walikota (28 tindakan), pengadilan (26 tindakan), 
dan DPRD (26 tindakan). 
  5. Dari 367 tindakan pelanggaran, sejumlah 88 merupakan 
tindakan kriminal warga dan sejumlah 91 berupa intoleransi 
yang dilakukan oleh individu/ anggota masyarakat. 
Kategori tindakan kriminal dan intoleransi merupakan 
bentuk pelanggaran hukum pidana yang pertanggung-
jawabannya melekat pada individu-individu sebagai subyek 
hukum. Pelaku tindakan pelanggaran pada kategori ini 
tercatat, MUI (42 tindakan), FPI (27 tindakan), FUI, KPSI, 
25
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
tentang reformasi yang semata-mata memberikan kebebasan politik 
(political liberties) tapi merampas kebebasan sipil (civil liberties). 
Masyarakat di 10 wilayah pemantauan umumnya 
berpandangan bahwa reformasi sama sekali belum memberikan 
keberpihakan konstruktif bagi jaminan kebebasan beragama/ 
berkeyakinan di Indonesia. Sejumlah tokoh masyarakat 
berpendapat bahkan situasi saat ini jauh lebih destruktif 
dibanding dengan situasi sebelum reformasi.
Masyarakat di wilayah pemantauan, umumnya meng-
anggap bahwa sejumlah regulasi yang tersedia sebenarnya 
sudah memberikan jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan. 
Hanya saja fakta ketundukan aparat hukum pada persekusi 
massa dalam kasus-kasus kekerasan berbasis agama menjadikan 
situasi kehidupan beragama/ berkeyakinan semakin buruk.
Pendapat masyarakat di 10 area pemantauan terbelah 
dalam memandang Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri,  
Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor: 
199 Tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah Kepada 
Penganut, Anggota, dan/ atau Anggota Pengurus Jemaat 
Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat (selanjutnya 
di tulis SKB Pembatasan Ahmadiyah). Ada yang menganggapnya 
solusi, ada juga yang menganggap SKB justru menjadi alat 
legitimasi persekusi massa terhadap kelompok yang berbeda. 
Semangat SKB juga menularkan virus intoleransi terhadap 
kelompok-kelompok lain yang dianggap berbeda.   
Meski pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan 
terlihat hanya menimpa sebagian umat beragama/ berkeyakinan 
saja, tapi sesungguhnya terdapat kelompok agama/ keyakinan 26
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
lain yang mengalami kekerasan dan diskriminasi. Di Kalimantan 
Selatan misalnya, umat Budha justru mengalami diskriminasi dari 
kelompok agama lain yang tergabung dalam Forum Kerukunan 
Umat Beragama (FKUB). 
Pandangan yang terrekam dalam pemantauan ini sekaligus 
menunjukkan bahwa pandangan masyarkat juga masih berbeda 
dalam memandang perihal kebebasan/ beragama berkeyakinan. 
Pandangan terhadap jaminan kebebasan beragama/
berkeyakinan di kalangan partai politik juga terbelah.
14
  Diskusi 
yang diselenggarakan untuk mengumpulkan pendapat 
perwakilan partai politik menunjukkan bahwa partai politik 
sebagai pemasok calon-calon penyelenggara negara, sebagian 
besar belum memiliki kepedulian tinggi dalam pemenuhan 
jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan. Pemahaman 
yang berbeda-beda dari partai politik dalam diskusi ini sekaligus 
menegaskan mengapa parlemen Indonesia tidak mampu 
berpihak dan bertindak dalam mendorong implementasi jaminan 
kebebasan beragama/ berkeyakinan. Kontestasi wacana dan 
legislasi di parlemen terhadap implementasi kebebasan beragama/ 
berkeyakinan yang mengarah pada arus politik penyeragaman 
baik untuk kepentingan idioligis maupun kepentingan politisasi 
merengkuh dukungan publik, salah satunya adalah bersumber 
dari pandangan partai-partai politik yang ambigu.
Persoalan penyerahan otoritas negara kepada organisasi 
koorporatis negara, semacam Majelis Ulama Indonesia (MUI) 
yang pada tahun 2007 dipersoalkan dalam laporan tahunan 
SETARA Institute, di tahun 2008 malah menunjukkan arah yang 
14
 FGD dengan Partai Politik, tanggal 13 Nopember 2008 di Jakarta.
103
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
5
KESIMPULAN & REKOMENDASI
5.1. KESIMPULAN 
1. Pada tahun 2008 SETARA Institute 367 mencatat tindakan 
pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan dalam 
265 peristiwa. Peristiwa terbanyak terjadi pada bulan Juni 
(103 peristiwa). Bulan Juni adalah bulan di mana desakan 
dan persekuasi terhadap Ahmadiyah mengalami ekskalasi 
cukup tinggi, baik sebagai desakan terhadap pemerintah 
agar mengeluarkan Keputusan Presiden tentang 
Pembubaran Ahmadiyah maupun sebagai dampak serius 
dari adanya SKB Pembatasan Ahmadiyah.
2. Peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan 
terkonsentrasi pada bulan Juni 2008. Jika peristiwa-peristiwa 
yang berhubungan dengan Ahmadiyah dikeluarkan dari 
penghitungan, jumlah peristiwa pelanggaran kebebasan 
beragama/ berkeyakinan sebenarnya cukup moderat. Fakta 
ini menunjukkan bahwa peristiwa pelanggaran kebebasan 
beragama/ berkeyakinan di tahun 2008 dieskalasi oleh 102
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
• mengutuk secara publik kejahatan-kejahatan berbasis 
kebencian (hate crimes) dan tindakan kekerasan lainnya 
yang berlandaskan pada diskriminasi rasial ... serta bekerja 
untuk menghapuskan provokasi dan peran apapun yang 
kiranya dilakukan oleh petugas atau personil penegak 
hukum dalam memberi persetujuan atau bentuk dukungan 
lain pada tindakan-tindakan kekerasan tersebut. Para aparat 
yang melanggar Konvensi karena tindakan atau pembiaran 
yang dilakukan harus melakukan pertanggungjawaban. [   ]
 
27
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
sebaliknya. Negara melalui sejumlah regulasi telah menegaskan 
peranan MUI dalam sejumlah urusan muamalat (ekonomi 
Islam). UU No. 21/ 2008 tentang Perbankan Syariah15
 dan UU 
No. 40/ 2007 tentang Perseroan Terbatas16
 yang masing-masing 
menyebutkan secara eksplisit peran MUI. Meskipun sejumlah 
kalangan tidak terlalu merisaukan ekstensi peran MUI, karena 
hanya sebatas kepentingan formal administratif,
17
  tetapi peran-
peran formal akan berpotensi melahirkan “fatwa-fatwa” yang 
mengikat. Dari fatwa-fatwa yang mengikat di bidang muamalat, 
potensi pergeseran peran-peran ke bidang lain akan sangat 
mungkin terjadi. Sebagaimana diketahui, tanpa pemeranan 
yang formal pun, MUI telah mampu memikat negara untuk 
menyerahkan sebagian otoritasnya kepada organisasi yang 
tidak sepenuhnya merepresentasikan kepentingan umat ini.
18
   
Tahun 2008 lalu adalah tahun pertaruhan memupuk citra 
dan dukungan publik untuk kepentingan Pemilu 2009. Tak heran 
jika keberpihakan dan tindakan para politisi, penyelenggara 
negara, dan organisasi masyarakat, baik di tingkat nasional 
15
 Lihat Pasal 26 (2), “Prinsip syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
difatwakan oleh Majlis Ulama Indonesia”. Sedangkan ayat (3) menyebutkan: 
“Fatwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam Peraturan 
Bank Indonesia”. Lihat juga Pasal Pasal 32 (2) “Dewan Pengawas Syariah 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Rapat Umum Pemegang 
Saham atas rekomendasi Majlis Ulama Indonesia”.
16
 Lihat Pasal 109 (2): “Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) terdiri atas seorang ahli syariah atau lebih yang diangkat oleh 
RUPS atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia”.
17
 Pendapat ini dikemukakan oleh Azyumardi Azra dalam Workshop 
Pembahasan Hasil Pemantauan SETARA Institute, tanggal 23 Desember 2008.
18
 Lihat juga Menapaki Bangsa yang Kian Retak,  Laporan Tahunan 
Pluralisme Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia, The Wahid Institute 2008.28
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
maupun di daerah, sangat bergantung pada seberapa besar 
citra yang akan terpoles dan seberapa besar dukungan yang 
akan direngkuh. Sebagai arena kontestasi, semua pihak akan 
memilih isu-isu yang paling sedikit mendatangkan kerugian; 
dan sebaliknya akan mengeksploitasi isu yang dapat sebesar-
besarnya mendatangkan keuntungan.
3.2. GAMBARAN DI WILAYAH PEMANTAUAN
Gambaran umum dari wilayah Sumatera Utara, 
menunjukkan kebebasan beragama/ berkeyakinan cukup 
kondusif, bahkan menurut Kepala Bidang Humas Polda Sumatera 
Utara, pluralisme dan kesalingpengertian cukup tinggi. Meski 
demikian, karena tingginya sensitivitas isu ini, tetap saja ada 
pihak-pihak yang menggunakan isu agama untuk kepentingan 
tertentu. Otoritas di Sumatera Selatan mengembangkan 
kerukunan dengan dialog-dialog lintas agama.
19
 Pendapat 
serupa dikemukakan oleh Syahrin Harahap, Ketua Forum 
Kerukunan Umat Beragama Medan,
20
 dan Direktur Lembaga 
Bantuan Hukum Medan.
21 
Para pemuka agama menyadari betul 
bahwa kesadaran masyarakat tentang pentingnya toleransi dan 
jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan masih rendah. 
Untuk itu, dialog-dialog reguler harus terus dilakukan. Gambaran 
umum sebagaimana dikemukakan di atas, juga tercermin 
dari sedikitnya peristiwa-peristiwa pelanggaran kebebasan 
beragama/ berkeyakinan di Sumatera Utara.
19
 Wawancara dengan Kabid Humas Polda Sumatera Utara, Kombes. 
Pol. Baharuddin Jaffar, Msi., Jum’at, 12 Desember 2008.
20
 Wawancara pada Sabtu, 13 Desember 2008.
21
 Wawancara pada Senin, 08 Desember 2008.
101
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
... Bahwa, masih ada tuduhan persisten yang mengganggu atas 
kegagalan terus-menerus untuk menyelidiki pelanggaran dan 
keengganan dari pihak kepolisian dan pihak yang berwenang 
untuk memberikan perlindungan bagi Ahmadiyah atau perilaku 
yang tepat, imparsial dan investigasi yang efektif. Komite prihatin 
ketika Jaksa Agung mengumumkan rencana untuk menerbitkan 
SKB yang akan mengkriminalkan kegiatan Ahmadiyah. 
Komite juga prihatin dengan pejabat negara pihak yang akan 
mengeluarkan peraturan pelarangan Ahmadiyah, sehingga akan 
menempatkan anggota komunitas ini pada resiko lebih jauh 
atas perlakuan buruk dan kekerasan fisik, juga memberikan 
pandangannya bahwa Ahmadiyah harus menghentikan tindakan 
‘provokasi’ anggota masyarakat--- dampaknya akan memberikan 
resiko kelompok ini untuk disalahkan (Pasal 2, 12, dan 16 
Konvensi).
Selanjutnya Komite Anti Penyiksaan memberikan 
rekomendasi-rekomendasi khusus kepada Pemerintah Republik 
Indonesia untuk:
60 
• menjamin perlindungan terhadap anggota kelompok 
masyarakat yang paling berisiko mendapat perlakuan 
buruk, dengan menuntut dan menghukum segala 
tindakan kekerasan terhadap orang-orang ini serta dengan 
memastikan pelaksanaan dari langkah-langkah positif bagi 
pencegahan dan perlindungan; 
• memastikan adanya investigasi yang segera, imparsial dan 
efektif terhadap segala bentuk kekerasan dan diskriminasi 
yang berbasis motivasi etnis, termasuk yang langsung 
menyerang perseorangan anggota kelompok etnis dan 
agama minoritas, dan menuntut serta menghukum pelaku, 
setara dengan tindakannya;
60
 Ibid, h. 31.100
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
Covenant on Civil and Politcal Rights, pasal 2: Negara bertindak 
menghormati dan memberi jaminan bagi setiap individu yang hidup 
dalam wilayahnya dan yang merupakan subyek dalam jurisdiksinya 
hak-hak yang tercantum dalam Kovenan ini tanpa pembedaan dalam 
bentuk apapun, seperti atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, 
bahasa, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-muasal sosial 
atau kebangsaan, properti, kelahiran, atau status lainnya. 
UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi 
Anti Penyiksaan, pasal 16: Negara akan mengambil langkah 
untuk mencegah terjadinya bentuk-bentuk perlakuan atau 
penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan 
martabat di seluruh wilayah dalam jurisdiksinya… ketika tindakan-
tindakan tersebut dilakukan oleh atau dengan dipicu oleh atau 
dengan persetujuan atau dukungan dari seorang pejabat publik 
atau orang lain yang bertindak dalam kapasitas sebagai pejabat 
publik.
Sebagai penandatangan Konvensi Anti Penyiksaan, 
Pemerintah Indonesia telah melaporkan kinerjanya dalam 
memenuhi pasal-pasal konvensi ini pada bulan Mei 2008 kepada 
Komite Anti Penyiksaan, Komisi Tinggi HAM PBB, di Jenewa. 
Terhadap tanggapan Pemerintah Indonesia tentang situasi yang 
menimpa Ahmadiyah, Komite Anti Penyiksaan memberikan 
pengamatan-pengamatan akhir, khususnya terkait dengan 
peran kepolisian sebagai pelindung masyarakat, Kejaksaan 
Agung sebagai berikut:
59 
 
59
 Concluding observations of the Committee against Torture, dalam 
sidang Komite Anti Penyiksaan sessi 40, 28 April – 16 Mei 2008. CAT/C/IDN/
CO/2, butir 19. Diskriminasi Berlapis: Kondisi HAM Perempuan Ahmadiyah, 
Mei 2008, h. 30.
29
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
Sumatera Selatan  secara geopolitik tidak memiliki 
persoalan keagamaan signifikan sebagaimana beberapa daerah 
lainnya. Namun demikian, Sumatera Selatan adalah satu-satunya 
daerah yang di tahun 2008 mengeluarkan Surat Keputusan 
Gubernur tentang Pelarangan Ahmadiyah. Latar belakang 
keluarnya SK ini sama sekali berbeda dengan latar belakang 
keluarnya SKB serupa di tingkat nasional. Menurut Mantan 
Asisten I Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan Drs. H. Abdul 
Shobur, SH, keluarnya Surat Keputusan Gubernur Sumatera 
Selatan No. 563/ KPTS/ BAN-KESBANGPOL & LINMAS/ 2008 
Tanggal 1 September 2008, tentang Pelarangan terhadap Aliran 
Ahmadiyah dan aktivitas penganut, anggota dan atau pengurus 
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dalam Wilayah Sumatera 
Selatan, adalah semata-mata desakan umat Islam.
22
 
Tidak ada gejolak yang melatarbelakangi keluarnya SKB ini. 
Bahkan setelah SKB ini dikeluarkan aktivitas Ahmadiyah tetap 
berlangsung sebagaimana biasa.
23
 Kondisi ini membuktikan 
bahwa toleransi di Sumatera Selatan cukup kondusif. Demikian 
juga, pemantauan di lapangan hanya mencatatkan peristiwa-
peristiwa pelanggaran kebebasan yang cukup kecil. Dengan 
demikian, keluarnya SK Gubernur, yang kemudian ditegur 
oleh Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, disinyalir semata-
mata mengadu peruntungan politik melalui politisasi agama 
menjelang Pilkada Gubernur Sumatera Selatan.    
Provinsi Sumatera Barat merupakan provinsi yang memiliki 
22
 Wawancara pada Senin, 15 Desember 2008.
23
 Wawancara dengan Ketua Ahmadiyah Cabang Palembang, Alamsyah 
Syufri dan Muballig Ahmadiyah, Hafiz Qudratullah, Selasa, 16 Desember 2008.30
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
tingkat politisasi agama cukup tinggi. Provinsi ini mencatatkan 
peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan 
peringkat kedua. Kontributor SETARA Institute mencatat, 
otonomi daerah telah memperkuat primordialisme yang sempit,
24
  
yang ditandai dengan keinginan menonjolkan kekhasan daerah. 
Sekalipun penghargaan kearifan lokal diperlukan dalam konteks 
demokrasi, namun minusnya pembatas antara tradisi lokal 
dengan agama menjadikan batas-batas kearifan lokal versus 
dominasi agama di ruang publik menjadi kabur; yang muncul 
kemudian adalah mengikisnya toleransi dan menguatnya 
kehendak penyeragaman.   
Persoalan ”konflik” agama di Sumatera Barat yang 
paling banyak mengemuka justru konflik internal antar Islam. 
Penyesatan terhadap kelompok yang berbeda menjadi trend 
tersendiri. Meskipun terdapat kesadaran pemuka agama 
tentang pentingnya toleransi tetapi minusnya ketulusan warga 
untuk mengakui perbedaan tetap menjadi pemicu masalah-
masalah yang muncul di Sumatera Barat. Jika di tingkat elit 
kondisinya masih demikian pelik, di tingkat masyarakat tentunya 
akan semakin pelik. Kondisi inilah yang menyebabkan minusnya 
dialog lintas agama di Sumatera Barat. Persoalan perselisihan 
yang berhubungan dengan masalah kebebasan beragama/ 
berkeyakinan lebih sering disembunyikan daripada diselesaikan 
secara terbuka.
25
24
 Sudarto, Direktur Pusat Studi Antar Komunitas (PUSAKA) Padang dan 
Anggota Komnas HAM Indonesia perwakilan Provinsi Sumatera Barat, dalam 
tulisannya untuk Laporan SETARA Institute, Kebebasan Agama dalam Cita dan 
Realitas, Desember 2008.
25
 Pandangan ini mengemuka pada FGD SETARA Institute di Padang, 3 
Nopember 2008
99
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
4
TANGGUNG JAWAB NEGARA
Tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak atas 
kebebasan beragama/ berkeyakinan sebagaimana dinyatakan 
dalam konstitusi dan hukum nasional Indonesia, antara lain: 
UUD 1945, pasal 29: 
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk 
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat 
menurut agamanya dan kepercayaan itu. 
UUD 1945, pasal 28I, ayat 4: 
Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi 
manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. 
UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, pasal 71:
Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, 
melindungi, menegakkan dan memajukan hak-hak asasi manusia 
yang diatur dalam UU ini, peraturan-perundangan lain, dan 
hukum internasional tentang HAM yang diterima oleh Negara 
Republik Indonesia 
UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International 98
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
31
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
Provinsi Banten, sebagaimana diakui salah satu pimpinan 
daerah Kabupaten Serang, secara umum iklim kebebasan 
beragama/ berkeyakinan relatif kondusif. Bagi pemerintah 
daerah, urusan agama adalah domain pemerintah pusat, 
karena itu kebijakan daerah soal agama sepenuhnya mengacu 
pada kebijakan di tingkat pusat.
26
 Atas dasar pandangan ini, 
pemerintah daerah Kabupaten Serang juga menepis munculnya 
rencana pembentukan peraturan daerah tentang Pelarangan 
Ahmadiyah. Namun demikian, Majelis Ulama Indonesia (MUI) 
Banten cukup aktif mengeluarkan fatwa-fatwa terhadap 
beberapa aliran agama/ keyakinan yang dianggap sesat.
27
  
Meskipun fatwa-fatwa ini tidak dibuat bersama pemerintah 
provinsi/ kabupaten, fatwa-fatwa itu cukup efektif memicu 
masyarakat untuk melakukan persekusi massa terhadap aliran 
agama/ keyakinan yang dianggap sesat. 
DKI Jakarta, hampir sama dengan tahun sebelumnya 
membukukan angka pelanggaran kebebasan beragama cukup 
tinggi. Sebagai pusat kontestasi beragam kepentingan, dominasi 
kelompok muslim kota telah mengubah wajah Jakarta yang 
kosmopolit dan heterogen menjadi daerah yang rentan dengan 
berbagai pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan. Di 
26
 Wawancara dengan Kepala Bagian Humas Pemkab Serang, M. Furqon, 
12 Desember 2008.
27
 Fatwa Nomor 1 Tahun 2008 menyatakan bahwa ajaran yang diajarkan 
Nursyahidin di pesantren Miftahul Huda dan ke sejumlah warga di Desa Baros, 
Kecamatan Baros Banten adalah ajaran sesat. MUI Banten juga mengeluarkan 
dukungan atas Fatwa MUI yang menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah 
aliran sesat. Khusus terhadap Ahmadiyah, meskipun ada Fatwa MUI dan 
SKB Pembatasan Ahmadiyah, dinyatakan bahwa Ahmadiyah di Banten tetap 
aman, karena keberadaan mereka tidak menganggu lingkungan sekitarnya.32
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
Jakarta, peran pemerintah DKI Jakarta dalam kaitannya dengan 
kehidupan beragama/ berkeyakinan tidak terlalu menonjol 
akibat posisinya sebagai Ibu Kota. Peran-peran, peristiwa, 
dan persoalan yang didokumentasikan dalam laporan ini juga 
umumnya merupakan artikulasi elit politik nasional, organisasi 
agama, dan institusi-institusi negara di tingkat nasional. 
Jawa Barat adalah provinsi yang mencatatkan pelanggaran 
kebebasan beragama/ berkeyakinan paling tinggi. Mayoritas 
peristiwa terjadi di Cianjur, Sukabumi, Kuningan, dan 
Tasikmalaya. Situasi kerukunan umat beragama, sebagaimana 
digambarkan oleh pandangan pemuka agama28
 secara 
umum jauh lebih buruk dibanding pada periode-periode 
sebelumnya. Pandangan ini dikemukakan oleh hampir semua 
perwakilan pemuka agama termasuk Nahdlatul Ulama dan 
Muhammadiyah. Hanya MUI Jawa Barat29
 yang menyangkal, 
karena menurutnya, sebagian peristiwa yang berhubungan 
dengan kekerasan berbasis agama dipicu oleh penodaan dan 
penistaan agama. 
Di luar masalah Ahmadiyah, sebenarnya masih terdapat 
persoalan berkaitan dengan kebebasan menjalankan ibadah/ 
keyakinan. Umat Budha dan Konghucu misalnya, masih belum 
mampu menyelesaikan persoalan sengketa rumah ibadahnya. 
Demikian juga beberapa kesulitan umat Kristiani yang masih 
terkendala dalam mendirikan rumah ibadah. Diskriminasi 
pelayanan publik terkait pencatatan nikah juga terjadi di Jawa 
28
 Pandangan ini mengemuka pada FGD SETARA Institute di Bandung, 
10 Nopember 2008.
29
 Pandangan ini dikemukakan oleh Sekretaris MUI Jawa Barat, Rafani 
dalam FGD SETARA Institute di Bandung, 10 Nopember 2008.
97
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
ini menekan pemerintah untuk membubarkan Ahmadiyah.
Pada perayaan Natal Tahun 2008,
58
 Presiden Susilo Bambang 
Yudhoyono juga kembali menyampaikan komitmennya dengan 
sebuah pernyataan bahwa perbedaan sebagai realitas sosial 
di Indonesia harus dihormati dengan lapang dada. Dalam 
perbedaan itu perlu terus dikembangkan toleransi, saling 
menghargai, dan saling menghormati. “Indonesia adalah 
bangsa majemuk dari sisi agama, suku, etnis, daerah asal, 
dan bahasa. Jika dikelola dengan tepat, kemajemukan akan 
mengantar Indonesia memiliki peradaban unggul dan mulia, 
serta dihormati dunia”.
Di luar ranah inisiatif negara, laporan ini mencatat, dalam 
satu dekade ini, organisasi masyarakat sipil yang menggeluti soal-
soal jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan, pluralisme, 
dan multikulturalisme terus tumbuh dan berkembang. Organisasi 
ini tidak hanya berkembang di Jakarta, tapi juga menyebar di 
berbagai daerah.
Berbagai aliansi intelektual juga terbentuk dalam 
mempromosikan kehidupan yang lebih toleran. Selain organisasi-
organisasi berbasis perguruan tinggi yang biasanya melibatkan 
sejumlah kalangan dosen progresif, jaringan mahasiswa antar 
kampus, dengan konsentrasi studi kebebasan beragama/ 
berkeyakinan juga mulai kembali tumbuh.[]
58
 Pernyataan presiden disampaikan pada Perayaan Nasional Natal 2008, 
Lihat Kompas, Edisi 28 Desember 2008. 96
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
Satu pernyataan politik yang secara deklaratif menegaskan 
komitmen pemerintah dalam memberikan jaminan kebebasan 
bergama/ berkeyakinan adalah pernyataan presiden Susilo 
Bambang Yudhoyono, setelah terjadinya penyerangan oleh Fron 
Pembela Islam (FPI) terhadap aksi damai yang dilakukan oleh 
Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama/ Berkeya-kinan 
(AKKBB) pada 1 Juni 2008. Waktu itu Presiden menyatakan:
“Negara kita adalah negara hukum yang punya UUD, UU dan 
peraturan yang berlaku. Bukan negara kekerasan. Oleh karena itu 
terkait insiden kekerasan kemarin, saya minta hukum ditegakkan. 
Pelaku-pelakunya diproses secara hukum diberikan sanksi hukum 
yang tepat. Ini menunjukkan negara tidak boleh kalah dengan 
perilaku-perilaku kekerasan. Negara harus menegakkan tatanan 
yang berlaku untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia.”57 
”Negara tidak boleh kalah dengan perilaku kekerasan. Negara 
harus menegakkan tatanan yang berlaku untuk kepentingan 
seluruh rakyat Indonesia,”
Sikap pemerintah merespon peristiwa 1 Juni 2008, harus 
diakui merupakan dukungan politik yang sangat besar bagi Polri 
untuk menuntaskan aksi kekerasan yang dilatarbelakangi oleh 
isu kebebasan beragama/ berkeya-kinan. Vonis terhadap Rizieq 
Shihab dan Munarman sebagai aktor pelaku kekerasan telah 
melemahkan modal sosial gerakan FPI dan sejenisnya. Namun 
demikian, pilihan pemerintah mengeluarkan SKB Pembatasan 
Ahmadiyah, yang hanya berselang 8 hari dari peristiwa ini, justru 
kembali memperkuat modal sosial gerakan Islam yang selama 
57
 Pernyataan presiden disampaikan pada tanggal 2 Juni 2008 di Jakarta. 
Pernyataan ini dikutip hampir oleh sebagian besar media nasional. Baca juga 
Kompas, Negara tidak boleh Kalah, Edisi 3 Juni 2008. 
33
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
Barat. Favoritisme negara terhadap agama Islam yang memiliki 
pranata dan institusi hingga ke tingkat kecamatan, seperti Kantor 
Urusan Agama (KUA) telah melahirkan perbedaan perlakukan 
layanan catatan sipil bagi agama lain yang tidak memiliki 
infrastruktur sama hingga ke tingkat kecamatan.
30
 Hampir 
semua perwakilan pemuka agama dalam diskusi terfokus yang 
diselenggarakan SETARA Institute mengkhawatirkan akan terus 
berlangsungnya ketundukan negara pada penghakiman massa 
dalam kehidupan beragama/ berkeyakinan. 
Jawa Tengah dan  Yogyakarta  yang dalam 
pemantauan ini dijadikan satu region, sebenarnya masing-
masing memiliki karakteristik berbeda. Di Jawa Tengah yang 
heterogen tingkat kerukunan antar umat beragama dan 
jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan cukup tinggi, 
sebagaimana terlihat dari rendahnya tingkat pelanggaran 
kebebasan beragama/ berkeyakinan yang terdokumentasikan. 
Sedangkan di Yogyakarta, meskipun dalam laporan ini tidak 
banyak terdokumentasikan peristiwa pelanggaran kebebasan 
beragama/ berkeyakinan, sejumlah organisasi Islam radikal 
banyak bermunculan, dan sebagaimana pada umumnya, 
organisasi-organisasi ini mempraktikkan pandangan keagamaan 
yang intoleran terhadap kelompok yang berbeda. 
Di  Nusa Tenggara Barat sebagaimana disampaikan 
para pemuka agama dan institusi pemerintahan,
31
 toleransi 
30
 Pandangan ini mengemuka pada FGD SETARA Institute di Bandung, 
10 Nopember 2008.
31
 Pandangan ini mengemuka pada FGD SETARA Institute di Mataram, 6 
Nopember 2008. Juga hasil wawancara dengan I Gde Partha (Anggota FKUB 
Lombok Barat, 23 Desember 2008.34
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
antar umat beragama secara umum cukup kondusif. Peristiwa 
pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan yang tercatat 
dalam laporan ini adalah pembakaran Pure Sangkareang, 
Desa Keru, Narmada Lombok Barat. Di NTB, hampir sama 
dengan kondisi di Sumatera Barat, yang banyak terjadi justru 
persinggungan antar umat Islam sendiri. Umumnya masyarakat 
muslim NTB mengakui betul keabsahan fatwa-fatwa MUI, karena 
MUI dianggap representasi negara. Formalisme keberagamaan 
yang direpresentasikan dengan gemar mem-bangun masjid 
tidak berbanding lurus dengan keseharian masyarakat muslim 
NTB yang enggan memakmurkan masjid. Kuatnya formalisme 
agama juga terlihat dengan munculnya visi Islam yang sangat 
kuat di dalam pemerintahan sejumlah daerah di NTB. Dompu 
dan Bima misalnya, adalah 2 daerah yang gemar memproduksi 
kebijakan daerah berlandaskan moralitas dan agama. Namun 
demikian, penting juga dicatat satu inisiatif konstruktif bagi 
peningkatan toleransi yang muncul di NTB adalah mencetak 
agen penyuluh agama yang berperspektif multikultural, yang 
dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi.    
Dinamika kehidupan beragama/ berkeyakinan di   Kalimantan 
Selatan dinilai cukup kondusif oleh para pemuka agama yang 
menyampaikan pandangannya.
32
 Pandangan ini sejalan dengan 
rendahnya pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan di 
Kalimantan Selatan. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), 
sebagaimana diakui Kepala Kesbanglinmas Kalimantan Selatan, 
cukup efektif menjadi sarana komunikasi antar umat beragama. 
Satu catatan menarik dari Kalimantan Selatan adalah adanya 
32
 Pandangan ini mengemuka pada FGD SETARA Institute di Banjarmasin, 
31 Oktober 2008.
95
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
daerah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih 
tinggi, termasuk dengan konstitusi.
Ulasan terkait dengan perundang-undangan dan kebijakan 
yang mengikis jaminan kebebasan beragama berkeyakinan, 
termasuk perda-perda diskriminatif, mengarah pada kesimpulan: 
bahwa perihal hubungan agama dan negara dalam kehidupan 
kebangsaan dan kenegaraan Indonesia hingga kini masih 
menjadi perdebatan. Sekali lagi, di dalam konstitusi Indonesia 
tidak ada klausul yang tegas tentang hubungan negara vis a 
vis agama. Jikapun di dalam konstitusi terdapat pasal-pasal 
yang memberikan jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan, 
namun antara satu pasal dengan pasal lainnya bisa saling 
menegasikan, akibat tafsir politik negara dan pembatasan yang 
tidak lazim dalam kerangka hak asasi manusia. Peta bias tafsir 
negara sebagaimana yang digambarkan di atas, adalah pemicu 
dasar dan pembenar formal seluruh peristiwa pelanggaran 
kebebasan beragama/ berkeyakinan di Indonesia. 
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, sebagai lembaga 
yang memiliki kewenangan konstitusional menafsir konstitusi, 
melalui uji materil UU No. 3/ 2006 tentang Peradilan Agama, 
ternyata justru hanya mempertahankan dan menegaskan 
problematika konstitusional yang melekat dalam UUD RI 1945.  
3.5. TEROBOSAN
Sepanjang tahun 2008 tidak ada terobosan signifikan yang 
dinisiasi oleh negara dalam memberikan jaminan kebebasan 
beragama/ berkeyakinan di Indonesia. Kecenderungan yang 
terjadi justru memburuk dari tahun sebelumnya. 94
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
di tahun 2008, yaitu [1] Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri,  
Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor: 
199 Tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah Kepada 
Penganut, Anggota, dan/ atau Anggota Pengurus Jemaat 
Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat; [2] Surat 
Keputusan Gubernur Sumatera Selatan No. 563/ KPTS/ BAN.
KESBANGPOL & LINMAS/ 2008 dan [3] Rekomendasi Pakem Kota 
Padang kepada Walikota Padang tertanggal 20 November 2008 
tentang Pelarangan dan Penurunan Papan Nama Ahmadiyah 
Kota Padang.
Di tingkat daerah, terkait dengan peraturan daerah yang 
diskriminatif, baik peraturan daerah dalam bentuk kriminalisasi 
perempuan, kontrol tubuh perempuan, dan peraturan daerah 
yang berlandaskan moralitas dan agama,
55
 yang diskriminatif 
terhadap kelompok lainnya, pemantauan ini tidak mencatatkan 
adanya peraturan daerah serupa yang terbit.
56
 Laporan ini juga 
mencatat, pemerintah di tingkat pusat, khususnya Departemen 
Hukum dan HAM yang memiliki kewenangan preventif, 
Departemen Dalam Negeri yang memiliki kewenangan evaluatif 
dan represif, dan Mahkamah Agung yang memiliki kewenangan 
represif melalui  judicial review belum mampu menciptakan 
mekanisme efektif dalam memastikan konsistensi peraturan 
55
 Kategori peraturan daerah sebagaimana diperkenalkan oleh Komnas 
Perempuan. Lihat Komnas Perempuan, 10 Tahun Reformasi: Kemajuan dan 
Kemunduran Perjuangan Melawan Kekerasan dan Diskriminasi Berbasis Jender,  
Catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap Perempuan 2007, Maret 2008
56
 Laporan The Wahid Institute, 2008 mencatat terdapat 4 regulasi di 
tingkat daerah, yang dibentuk berdasarkan landasan moralitas dan agama. 
Lihat juga Menapaki Bangsa yang Kian Retak,  Laporan Tahunan Pluralisme 
Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia, The Wahid Institute 2008
35
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
pandangan mayoritas anggota FKUB terhadap umat Budha 
yang hingga kini belum memiliki tempat ibadah di Kalimantan 
Selatan. Mereka bersepakat bahwa kuantitas jumlah jemaat 
harus dipenuhi sebagai prasyarat mendirikan rumah ibadah. 
FKUB Kalimantan Selatan belum mampu menjembatani 
diskriminasi yang dialami umat Budha ini. 
Potret dinamika kebebasan beragama/ berkeyakinan di   
Sulawesi Selatan menunjukkan kondusifitas tinggi, sebagai-
mana disampaikan para pemuka agama dan perwakilan institusi 
pemerintah. Pandangan ini didasari oleh sedikitnya peristiwa-
peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan 
yang terjadi di Sulawesi Selatan.
33
 Berbeda dengan pandangan 
mainstream, kontributor SETARA Institute mencatat, Sulawesi 
justru menjadi potret penguatan politik penyeragaman melalui 
peraturan-peraturan daerah yang berlandaskan moralitas 
dan agama.
34
 Kekuatan gerakan itu didukung oleh berbagai 
elemen organisasi Islam seperti Hizbut Tahrir, Pemuda Penegak 
Syariat Islam, KPPSI, Wahdah Islamiyah, FUI dan terakhir 
adalah kehadiran FPI. Salah satu gerbong besar yang aktif 
memperjuangkan pemberlakuan syariat Islam adalah Komite 
Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI). KPPSI berdiri sejak 
tahun 1999 dan diketuai oleh Azis Qahar Mudzakkar. Kekalahan 
Azis dalam Pilkada Sulawesi Selatan di tahun 2007 sebenarnya 
telah melemahkan modal sosial pengusung syariat Islam ini. 
33
 Pandangan ini mengemuka pada FGD SETARA Institute di Makassar, 
17 Nopember 2008.
34
 Subair, pernah aktif di LAPAR Makasar dan pemerhati sosial keagamaan, 
dalam paper untuk Laporan Tahunan SETARA Institute, Formalisasi Islam, 
Kelompok Islam Keras dan Kebebasan Beragama di Sulawesi Selatan, 
Desember 2008.36
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
Terlepas dari gagasan dasar pemberlakuan syariat Islam di 
Sulawesi Selatan, politisasi agama yang diusung KPPSI terbukti 
tidak menguntungkan secara politik, dan telah menjadi salah 
satu pemicu kekalahannya pada Pilkada Sulawesi Selatan. 
3.3. PERISTIWA DAN PELANGGARAN 
Sepanjang tahun 2008 tercatat 265 peristiwa pelanggaran 
kebebasan beragama/ berkeyakinan, yang tersebar dari bulan 
Januari-Desember. Peristiwa tertinggi terjadi pada bulan Juni 
(103 peristiwa). Selebihnya peristiwa terjadi dan tersebar di 
hampir setiap bulannya.  
Grafik 1:
Jumlah Peristiwa Berdasarkan Sebaran Bulan
120
100
80
60
40
20
0
 
Jumlah peristiwa pada tahun 2008 meningkat secara 
signifikan dibanding peristiwa yang terdokumentasikan SETARA 
Institute pada tahun 2007, yang mencatat sejumlah 135 
93
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
belum bekerja secara optimal.
53
 
Watak interventif negara di tengah kehidupan beragama/ 
berkeyakinan seharusnya tidak dilakukan untuk melakukan 
pembatasan. Kehadiran yang tepat bagi negara adalah menjamin 
kebebasan beragama/ berkeyakinan itu, termasuk di dalamnya 
menjamin pemeluknya dalam menjalankan ibadahnya. Karena 
itu yang diperlukan bukanlah produk-produk perundangan 
yang restriktif, diskriminatif, dan represif tapi justru UU yang 
menjamin kebebasan beragama/ berkeyakinan.       
Semua produk perundang-undangan dan kebijakan di 
atas, hingga kini masih efektif digunakan oleh negara dalam 
melakukan pembatasan terhadap agama/ kepercayaan lainnya. 
Terkait dengan jemaat Ahmadiyah, represi negara juga 
mewujud dalam berbagai macam kebijakan yang pada intinya 
melarang Ahmadiyah, baik dalam bentuk Surat Edaran maupun 
SK Bupati, di beberapa daerah.
54
Selain produk perundang-undangan di atas, sebagaimana 
juga dipersoalkan pada Laporan Tahunan SETARA Institute 2007, 
laporan ini mencatat, di bidang legislasi, bias tafsir konstitusional 
juga telah melahirkan UU No. 42/ 2008 tentang Pornografi 
yang meletakkan perempuan sebagai obyek kriminalisasi dan 
merampas kebebasan sipil warga negara. 
Sementara kebijakan represif dan diskriminatif yang terbit 
53
 FGD yang diselenggarakan SETARA Institute di 5 daerah mencatat 
bahwa FKUB dalam pandangan pemuka agama sebagai sebuah terobosan 
penting 
54
 Komnas Perempuan, Laporan Pemantauan HAM Komnas Perempuan 
dan Anak Ahmadiyah: Korban Diskriminasi Berlapis, Jakarta, 22 Mei 2008. h. 4692
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
No. Jenis Peraturan Perundang-undangan/ Kebijakan
3 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri  
No. 08 dan No. 09/ 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas 
Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan 
Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan 
Umat Beragama, Pendirian Rumah Ibadah.
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam 
Negeri  No. 08 dan No. 09/ 2006 ini secara substantif dianggap 
banyak kalangan merupakan titik kompromi antara hak-hak 
individu versus hak-hak komunitas (communitarian rights) untuk 
menciptakan kerukunan umat beragama, dan dibenarkan dalam 
disiplin hak asasi manusia. Hanya saja, implementasi di lapangan 
justru seringkali menjadi hambatan bagi pemeluk agama untuk 
mendirikan rumah ibadah. Pertimbangan kuantitatif jamaah 
dalam pendirian rumah ibadah, jelas tidak sejalan dengan 
jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan. Persoalan dasar 
dalam PMB ini adalah tidak adanya jaminan bagi agama/ 
keyakinan lain yang dimungkinkan bisa hidup, kecuali mereka 
yang tergabung dalam FKUB. Bahkan di antara agama-agama 
yang “diakui” negara pun, terjadi beberapa masalah terkait 
representasi keummatan.
Dalam pandangan banyak pemuka agama, PBM ini 
merupakan salah satu terobosan dan instrumen perekat 
kerukunan yang sangat penting. Kerukunan di beberapa daerah 
diakui sebagai manfaat adanya FKUB yang merupakan mandat 
PBM ini. Hanya saja, lemahnya dukungan pemerintah terhadap 
kehadiran dan operasionalisasi PBM menjadikan FKUB masih 
37
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan. 
Peningkatan jumlah peristiwa ini dimungkinkan oleh dua hal: 
pertama, menguatnya persekusi organisasi-organisasi Islam 
terhadap Ahmadiyah, sebagai bentuk desakan agar pemerintah 
mengeluarkan Keputusan Presiden tentang Pembubaran 
Ahmadiyah; dan kedua, implikasi serius dari adanya Surat 
Keputusan Bersama Tiga Menteri,  Nomor: 3 Tahun 2008, 
Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor: 199 Tahun 2008 Tentang 
Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/ atau 
Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan 
Warga Masyarakat.
Grafik 1 menunjukkan juga bahwa peristiwa-peristiwa 
pelanggaran yang terjadi sebelum dan sesudah bulan Juni 
menunjukkan angka yang stabil. Angka peristiwa naik pada 
bulan Juni karena adanya desakan mengeluarkanKeppres 
Pembubaran Ahmadiyah dan dampak mutakhir dari SKB 
Pembatasan Ahmadiyah. Sementara pada bulan-bulan 
selanjutnya, angka peristiwa pelanggaran relatif stabil, karena 
pemerintah telah menjalankan fungsinya menegakkan 
hukum dengan mengantarkan pelaku kekerasan Monas, 1 
Juni 2008, sebuah aksi klimaks yang mendesak pembubaran 
Ahmadiyah,  yaitu Rizieq Shihab dan Munarman ke pengadilan. 
Penangkapan dan peradilan atas Rizieq Shihab dan Munarman 
telah mengurangi modal sosial sekaligus member efek terhadap 
organisasi-organisasi yang selama ini aktif melakukan persekusi 
dan intoleransi.  
Harus diakui, bahwa peristiwa pelanggaran kebebasan 
beragama/ berkeyakinan pada tahun 2008 umumnya 
berhubungan dengan Ahmadiyah (193 peristiwa), sementara 38
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
sejumlah 72 peristiwa lainnya tidak berhubungan dengan 
Ahmadiyah. 
Grafik 2:
Perbandingan Peristiwa terkait Ahmadiyah vs Peristiwa Lainnya
Pendokumentasian ini menunjukkan secara jelas, bahwa 
peristiwa pelanggaran yang berhubungan dengan Ahmadiyah 
sebelum dan sesudah SKB dikeluarkan cukup besar. Dari 193 
peristiwa yang berhubungan dengan Ahmadiyah, sejumlah 
48 peristiwa terjadi sebelum adanya SKB dan sejumlah 145 
peristiwa terjadi setelah terbit SKB. Fakta bahwa peristiwa 
pelanggaran yang berhubungan dengan Ahmadiyah yang terjadi 
sebelum SKB cukup tinggi, menunjukkan bahwa persekusi dan 
intoleransi berpengaruh kuat pada munculnya SKB Pembatasan 
Ahmadiyah. Sementara fakta angka peristiwa pelanggaran yang 
semakin tinggi pasca SKB menunjukkan bahwa SKB memiliki 
implikasi serius terhadap Ahmadiyah. Persekusi dan intoleransi 
yang terjadi setelah SKB menunjukkan bahwa SKB telah dijadikan 
alat legitimasi tindakan persekusi dan intoleransi.
91
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
ini kemudian sering disebut organisasi korporatis negara. 
Dalam prosesnya sebagai lembaga yang dianggap representasi 
salah satu agama, seperti MUI yang dibentuk sejak tahun 1975, 
pada perkembangannya banyak mempengaruhi kehidupan 
sosial keagamaan yang luas di dalam masyarakat menyangkut 
persoalan-persoalan yang terkait dengan kebebasan beragama/ 
berkeyakinan melalui fatwa–fatwa yang dikeluarkannya.
51
Negara juga mengeluarkan produk hukum yang mengatur 
secara operasional hal-hal yang terkait dengan kepentingan 
stabilitas keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat, yaitu: 
Tabel 7:
Daftar Peraturan Perundang-undangan yang Restriktif (2)
No. Jenis Peraturan Perundang-undangan/ Kebijakan
1  Penetapan Presiden No. 4 PNPS tahun 1963 yaitu: Menteri 
Jaksa Agung berwenang untuk melarang beredarnya barang 
cetakan yang dianggap dapat mengganggu ketertiban umum
2 Inpres No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, 
dan Adat Istiadat Cina, yang diikuti oleh Keputusan Bersama 
Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung 
tentang Petunjuk Pelaksanaan Instruksi Presiden No. 14/ 
1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istidat Cina52
 
e
51
 http://www.mui.or.id/mui_in/about.php, diakses pada 14 September 
2008
52
 Khusus produk-produk hukum yang berhubungan dengan larangan 
kebudayaan etnis Tionghoa dan agama Konghucu telah dicabut dengan 
dengan Keppres No. 6 tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden No. 
14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. 90
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
No. Jenis Peraturan Perundang-undangan/ Kebijakan
3 Tap MPRS No.XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan, 
dan Kebudayaan
4 Surat Edaran Kejaksaan Agung RI Nomor: B.523/C/8/1969 
tanggal 16 Agustus 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan/
Dasar-Dasar Pembekuan Suatu Aliran Kepercayaan 
Masyarakat/ Kerohanian/ Kebatinan dan Perdukunan
5 Surat Edaran Kejaksaan Agung RI Nomor: B.170/B.2/1/1973 
tanggal 30 Januari 1973 tentang Pelarangan Masalah Aliran 
Kebatinan/ Kepercayaan
6 Surat Edaram Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/
BA.01.2/4683/95 (18 November 1978) tentang Pengakuan 
Agama yang diakui oleh Pemerintah
7 Instruksi Menag No. 4 tahun 1978 tentang Larangan 
Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan YME
8 Intruksi Menteri Agama No.8 tahun 1979 tentang Pembinaa, 
Bimbingan dan Pengawasan terhadap Organisasi dan Aliran 
dalam Islam yang bertentangan dengan Ajaran Islam
9 Surat Keputusan Jaksa Agung No. Kep-108/JA/1984 
tentang Pembentukan Tim Koordinasi pengawasan Aliran 
kepercayaan Masyarakat
Unsur lain yang dinyatakan oleh negara sebagai badan 
yang mempunyai otoritas dan representasi dari setiap agama 
yang diakui adalah lembaga-lembaga independen antara lain 
seperti MUI, WALUBI, PGI, KWI dan HINDUDHARMA. Lembaga-
lembaga tersebut secara administratif bukanlah lembaga negara, 
tapi lahir dari proses dukungan politik pemerintah.
50
 Lembaga 
50
 M. Amin Abdullah, MUI, Fatwa dan Otoritas Keagamaan di Indonesia, 
Seminar: Kritik atas Kebebasan Beragama di Indonesia, Pusat Penelitian 
Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB), Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia 
(LIPI), Jakarta ,  23 September 2005 
39
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
Grafik 3:
Pristiwa Pelanggaran terhadap Ahmadiyah Pra & Pasca SKB
Peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan 
terkonsentrasi pada bulan Juni 2008. Jika peristiwa-peristiwa 
yang berhubungan dengan Ahmadiyah dikeluarkan dari 
grafik 1, jumlah peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/ 
berkeyakinan sebenarnya cukup moderat, sekalipun tetap setiap 
pelanggaran harus dipersoalkan. Fakta ini menunjukkan bahwa 
peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan di 
tahun 2008 dieskalasi oleh adanya SKB Pembatasan Ahmadiyah.  
Grafik 4: 
Jumlah Peristiwa Berdasarkan Sebaran Bulan 
Tanpa Peristiwa Pelanggaran yang Berhubungan dengan Ahmadiyah
11
10
8
1
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
19
2
0
1
10
1
2
740
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
  Peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan 
di Indonesia 2008, terjadi hampir di semua provinsi di Indonesia. 
Peristiwa terbanyak secara berturut-turut terjadi di Jawa Barat (73 
peristiwa),  Sumatera Barat (56 peristiwa) dan Jakarta (45 peristiwa).
Grafik 5:
Jumlah Peristiwa Berdasarkan Sebaran Wilayah
19
5
8
18
7
73
10
11
56
13
Grafik di atas menunjukkan bahwa tiga provinsi memiliki 
tingkat tingkat pelanggaran tinggi. Tingginya tingkat pelanggaran 
di tiga provinsi ini, di Tahun 2008 sebagian besar berhubungan 
dengan Ahmadiyah, sebagaimana terlihat dalam tabel berikut: 
Tabel 1:
Peristiwa Pelanggaran Terkait Ahmadiyah & Lainnya di Tiga Provinsi 
89
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
Dalam memberikan dukungan pada agama-agama yang 
diakui tersebut negara membentuk badan, lembaga-lembaga 
yang mengurus persoalan yang terkait dengan urusan agama 
di bawah naungan Departemen Agama, Departemen Dalam 
Negeri, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang 
Depdiknas), Kejaksaan Agung dan Polri. Di tingkat operasional 
negara membentuk Badan Koordinasi Pengawasan Aliran 
Kepercayaan Masyarakat (BAKOR PAKEM), pada tanggal 15 
Januari 1994 berdasarkan KEPJA No. KEP-004/JA/01/1995. 
Badan ini diberi kewenangan melakukan pengawasan terhadap 
keberadaaan organisasi dan kelompok aliran keagamaan/ 
kepercayaan. Badan ini terdiri dari unsur Kejaksaan, kepolisian, 
Departemen Agama, Departemen Dalam Negeri, Departemen 
Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen Hukum dan HAM, 
dan TNI.
49
Tabel 6:
Daftar Peraturan Perundang-undangan yang Restriktif (1)
No. Jenis Peraturan Perundang-undangan/ Kebijakan
1 Penetapan Presiden No.1 PnPs/ 1965 tentang Pencegahan 
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang 
kemudian menjadi UU No. 5 Tahun 1969 UU No. 1 Tahun 
1965
2 Ketatapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran 
partai komunis Indonesia
49
 Ibid, hal. 26. Lihat juga Uli Parulian Sihombing, dkk, Menggugat 
BAKOR PAKEM: Kajian Hukum terhadap PEngawasan Agama dan Kepercayaan 
di Indonesia, ILRC, Jakarta 2008.88
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
Syarat kumulatif yang dimaksud adalah pertama, sepanjang ada 
situasi mendesak yang secara resmi dinyatakan sebagai situasi darurat 
yang mengancam kehidupan bernegara; kedua, penangguhan atau 
pembatasan tersebut tidak boleh didasarkan pada diskriminasi ras, 
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial; 
dan ketiga, pembatasan dan penangguhan yang dimaksud harus 
dilaporkan kepada Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Semua syarat kumulatif sebagaimana disebutkan di atas, 
tidak satupun terpenuhi dalam praktik pembatasan kebebasan 
beragama/ berkeyakinan di Indonesia. Karena itu, konstruksi 
pasal 28J ayat (2) termasuk implementasi pasal 29 UUD RI akan 
terus menciptakan problematika konstitusional.
Dengan berpijak pada penafsiran yang bias, negara 
memproduksi sejumlah perundang-undangan, (lihat table 6) yang 
terus membatasi jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan.
Kebijakan-kebijakan tersebut menjadi standar operasional 
negara dalam melakukan pembatasan agama yang diakui oleh 
negara. Implikasinya di tingkat operasional negara mendukung 
dan memberikan fasilitas lebih pada agama-agama yang diakui 
tersebut (favoritisme), sedangkan terhadap agama/ kepercayaan 
yang tidak diakui oleh negara, negara melakukan pembatasan, 
bahkan represi dan secara administratif hanya dikategorikan 
sebagai bagian dari bentuk kebudayaan.
48
48
 Dengan Keppres No. 27/ 1978 tentang pembetukan Direktorat 
Pembinaan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan YME di bawah Direktorat 
Jenderal Pendidikan dan Kebudayaan. Lihat ICRP, Peminggiran di seberang 
Pengakuan, Sebuah penelitian yang Melihat Sejauh Mana perhatian Negara 
Terhadap Eksistensi Agama-agama dan Penganut Penghayat Kepercayaan 
terhadap Tuhan YME di Indonesia, 2005, hal. 22    
41
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
Dengan demikian, tiga wilayah provinsi sebagaimana 
dikemukakan di atas, memiliki tingkat intoleransi yang sangat 
tinggi; sebaliknya tiga provinsi tersebut memiliki tingkat toleransi 
yang rendah. 
Jika peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan 
Ahmadiyah dikeluarkan dari grafik 5, tiga provinsi ini tetap 
mencatatkan tingkat intoleransi yang cukup tinggi. Lihat grafik 
6 berikut ini:
Grafik 6:
Peristiwa Pelanggaran yang Tidak Terkait Ahmadiyah 
di Tiga Provinsi 
Jawa Barat
Sumatera Barat
Jakarta
0
5
10
15
20
11
7
16
 Angka 16 peristiwa untuk Jawa Barat, 7 peristiwa untuk 
Sumatera Barat, dan 11 peristiwa untuk DKI Jakarta, masih 
cukup tinggi jika dibandingkan dengan 7 daerah pemantauan 
lainnya yang masih menggabungkan peristiwa pelanggaran baik 
yang berhubungan dengan Ahmadiyah maupun pelanggaran 42
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
terhadap agama/ keyakinan lainnya. Sumatera Utara 13 
peristiwa, Sumatera Selatan 11 persitiwa, Banten 10 peristiwa, 
Jawa Tengah dan Yogyakarta 7 peristiwa, Nusa Tenggara Barat 
18 peristiwa, Kalimantan Selatan 8 peristiwa, dan Sulawesi 
Selatan 5 peristiwa. 
Dengan demikian, di samping tingkat intoleransi yang 
sangat tinggi, di tiga provinsi Sumatera Barat, Jawa Barat, dan 
Jakarta, potensi konflik antar agama tetap cukup tinggi.  
Wilayah yang mencatatkan peristiwa pelanggaran 
terbanyak seperti Jawa Barat, Sumatera Barat, dan DKI Jakarta 
masing-masing mengandung pemaknaan sendiri. Jawa Barat 
dan Sumatera Barat adalah wilayah yang secara demografi 
berpenduduk mayoritas Islam dan mewarisi kesejarahan Islam 
kuat dalam kehidupan masyarakatnya. Secara khusus Jawa 
Barat merupakan daerah yang memiliki akar ekstremisme 
tinggi dan praktik keagamaan puritan. Gerakan Darul Islam dan 
Tentara Islam Indonesia (DI/TII) misalnya, muncul di Jawa Barat 
di bawah pimpinan Kartosuwiryo. Meskipun meningkatnya 
pelanggaran tidak sepenuhnya berpijak pada kesejarahan ini 
tetapi praktik keislaman puritan di Jawa Barat telah memicu 
praktik penghakiman masa yang massif terhadap kelompok-
kelompok keagamaan/ keyakinan yang dianggap sesat. 
Sementara Jakarta adalah pusat kontestasi dan artikulasi 
kepentingan dan kelompok politik Tanah Air. Pada tahun 
2007, peristiwa terbanyak bahkan terjadi di Jakarta. Dominasi 
kalangan muslim perkotaan yang puritan di aras publik telah 
mengalahkan suara mayoritas yang diam (the silent majority), 
yang sesungguhnya tidak bersetuju atas aksi-aksi kekerasan 
87
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
Padahal, sebagaimana disebutkan dalam Pasal (4) Kovenan 
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik pembatasan 
terhadap hak asasi manusia hanya dibenarkan dengan alasan-
alasan yang lazim dalam disiplin hak asasi manusia. 
1.  Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan 
bangsa dan keberadaannya, yang telah diumumkan 
secara resmi, Negara-negara Pihak Kovenan ini dapat 
mengambil langkah-langkah yang mengurangi kewajiban-
kewajiban mereka berdasarkan Kovenan ini, sejauh 
memang sangat diperlukan dalam situasi darurat tersebut, 
sepanjang langkah-langkah tersebut tidak bertentangan 
dengan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan hukum 
internasional dan tidak mengandung diskriminasi semata-
mata berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, 
bahasa, agama atau asal-usul sosial. 
2.  Pengurangan kewajiban atas pasal-pasal 6, 7, 8 (ayat 1 dan 
2), 11, 15, 16 dan 18 sama sekali tidak dapat dibenarkan 
berdasarkan ketentuan ini. 
3.  Setiap Negara Pihak Kovenan ini yang menggunakan 
hak untuk melakukan pengurangan tersebut harus 
segera memberitahukannya kepada Negara-negara 
Pihak lainnya melalui perantaraan Sekretaris Jenderal 
Perserikatan Bangsa-Bangsa, mengenai ketentuan- 
ketentuan yang dikuranginya, dan mengenai alasan-
alasan pemberlakuannya. Pemberitahuan lebih lanjut, 
harus dilakukan melalui perantara yang sama pada saat 
berakhirnya pengurangan tersebut.
Dengan demikian, tidak dibenarkan suatu negara manapun 
mengurangi, membatasi atau bahkan mengesampaikan 
pemenuhan dari hak-hak yang dijamin dalam Kovenan Sipil dan 
Politik. Kalaupun pembatasan terpaksa harus dilakukan, hanya 
dan bila hanya syarat-syarat kumulatif yang ditentukan oleh 
kovenan tersebut dipenuhi oleh negara yang bersangkutan. 86
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
Tentang bentuk negara agama atau negara sekuler, ambiguitas 
juga ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi 
yang menguji UU No. 3/ 2006 tentang Peradilan Agama. 
Dalam konsideran putusannya disebutkan bahwa Indonesia 
bukanlah negara agama, bukan pula negara sekuler.
46
 Namun 
demikian, dalam praktik kehidupan beragama/ berkeyakinan, 
Indonesia lebih menampilkan wajah religius dibanding wajah 
sekulernya. Apalagi secara eksplisit Pasal 28 J ayat (2) UUD RI 
1945 menegaskan bahwa:
”Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang 
wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan 
undangundang dengan maksud sematamata untuk menjamin 
pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang 
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan 
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban 
umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Dengan adanya klausul sebagaimana di atas, seluruh 
jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan termasuk jaminan 
hak asasi manusia lainnya di dalam konstitusi, sangat berpotensi 
hanya menjadi deretan pasal bisu yang tidak bisa digunakan 
oleh warga negara sebagai pelindung hak-hak warga negara.
47
    
Laporan ini berpandangan bahwa rumusan sebagaimana 
tertuang dalam Pasal 28J ayat (2) sebagai bentuk pembatasan 
di luar kelaziman prinsip-prinsip pembatasan hak asasi manusia. 
46
 Komnas Perempuan (2008) mengidentifikasi persoalan ini sebagai 
bentuk kontradiksi konstitusional yang juga menegaskan politik pembatasan 
hak asasi manusia.
47
 Lihat Risalah Sidang Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian 
UU No. 3/ 2006 tentang Peradilan Agama, Nomor Perkara 19/VI/PUU/2008, 
Selasa, 12 Agustus 2008    
43
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
berdasar dan mengatasanamakan agama.
35
 Heterogenitas dan 
pluralitas warga Jakarta belum mampu menjadi modal kuat 
untuk menekan maraknya aksi-aksi kekerasan.
Dari 265 peristiwa yang terjadi, SETARA Institute mencatat 
367 tindakan pelanggaran dalam 4 kategori: 
[1]  sejumlah 99 tindakan aktif negara (by commission), 
[2]  sejumlah 89 tindakan pembiaran yang dilakukan oleh 
negara (by omission), 
[3]  sejumlah 88 tindakan kriminal warga negara, dan 
[4]  sejumlah 91 intoleransi yang dilakukan oleh masyarakat. 
Di dalam masing-masing kategori terdapat bentuk 
tindakan pelanggaran yang variatif. Pada laporan ini, SETARA 
Institute memperkenalkan kategorisasi yang lebih tegas dengan 
kerangka hak asasi manusia dan memastikan ruang untuk 
mempersoalkan dan menagih pertanggung-jawabannya, baik 
secara hukum maupun secara etik dalam konteks demokrasi.
Terhadap pelanggaran kategori  by commission dan by 
omission  kerangka legal untuk mempersoalkannya adalah 
kerangka hak asasi manusia dan hukum hak asasi manusia yang 
terdapat dalam kovenan sipil dan politik dan yang terdapat di 
dalam sejumlah konvens-konvensi hak asasi manusia. Sedangkan 
untuk kategori tindakan kriminal yang dilakukan oleh warga 
negara dan intoleransi, kerangka legal yang bisa digunakan 
adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
35
 Lihat Toleransi dalam Pasungan: Hasil Survey Pandangan Kaum Muda 
terhadap Masalah Kebangsaan, Pluralitas, dan Kepemimpinan Nasional, 
SETARA Institute, Jakarta, Mei 2008.44
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
Perbedaan jumlah bentuk pelanggaran dengan peristiwa 
yang terjadi, muncul karena dalam satu peristiwa dapat terjadi 
berbagai bentuk tindakan, misalnya, di dalam satu peristiwa 
pengrusakan tempat ibadah, terdapat juga kekerasan terhadap 
jemaat, perampasan dokumen-dokumen keagamaan, dan lain-
lain.
3.3.1.  Tindakan Aktif dan Pembiaran oleh Negara 
Kategori pelanggaran  by commission dan  by omission 
dalam kerangka hukum hak asasi manusia merupakan bentuk 
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara, karena 
negara merupakan state parties yang terikat baik secara 
hukum (legally binding) maupun  terikat secara moral (morally 
binding) karena telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-
hak Sipil dan Politik, di mana di dalam pasal 18 menegaskan 
tentang kewajiban negara menjamin kebebasan beragama/ 
berkeyakinan. Mengingat konstitusi Indonesia juga menegaskan 
jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan (Pasal 28E), 
negara juga dianggap telah melakukan pelanggaran konstitusional 
atas jaminan hak konstitusional warga negara untuk  bebas 
beragama/ berkeyakinan, termasuk menjalankan ritual 
ibadahnya. 
Terhadap pelanggaran yang dilakukan negara, laporan ini 
menegaskan bahwa negara harus mempertanggungjawabkannya 
baik dengan menghentikan tindakan aktif melanggar 
kebebasan beragama/ berkeyakinan, mencabut kebijakan-
kebijakan restriktif dan diskriminatif, memberikan pemulihan 
hak-hak korban, dan memproses secara hukum setiap orang 
85
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
yang tertuang dalam Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik yang sudah 
diratifikasi Indonesia dengan UU No. 12/ 2005 tentang Ratifikasi 
Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik, serta sejalan dengan Deklarasi 
PBB tahun 1981 tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi 
dan Diskriminasi berdasar-kan Agama atau Keyakinan.
Namun, jaminan yang terdapat di dalam Pasal 28E 
mengalami reduksi akibat bias tafsir yang muncul dari Pasal 29 
ayat 1, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pasal 
ini, dalam implementasinya ditafsiri secara tidak menguntungkan 
bagi jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan. Pasal 29 
UUD RI adalah pasal yang menjadi landasan yuridis produksi 
berbagai perundang-undangan yang restriktif terhadap jaminan 
kebebasan beragama/ berkeyakinan. 
Pasal ini secara tegas menyatakan bahwa Indonesia 
adalah negara yang  bersendikan pada Tuhan Yang  Maha 
Esa. Ini merupakan bentuk deklarasi politik bahwa Indonesia 
bukan termasuk sebagai negara sekuler dan bukan juga 
negara agama.
45
 Pasal ini merupakan satu-satunya bab yang 
tidak diubah dalam reformasi konstitusi tahun 1999-2002. 
45
 Dalam penelitiannya mengenai hubungan dan peran konstitusi 
terhadap kebebasan menjalankan agama, Tad Stahnke dan Robert C. Blitt 
(2005) membagi negara-negara berpenduduk mayoritas muslim di dunia 
menjadi empat kategori. Keempat kategori negara tersebut yaitu: (1) negara 
yang mendeklarasikan dirinya sebagai negara Islam, misalnya Afganistan, Iran, 
dan Saudi Arabia; (2) negara yang menyatakan Islam sebagai agama resmi 
negara, misalnya Irak, Malaysia, dan Mesir; (3) negara yang mendeklarasikan 
dirinya sebagai negara sekuler, misalnya Senegal, Tajikistan, dan Tuki; serta 
(4) mereka yang tidak memiliki deklarasi apapun di dalam konstitusinya, 
seperti Indonesia, Sudan, dan Siria. Lihat Pan Mohamad Faiz, Constitutional 
Review dan Perlindungan Kebebasan Beragama, http://jurnalhukum.blogspot.
com/2007/10, diakses pada 18 Juli 2008.84
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut 
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih 
pekerjaan, memilih kewarga-negaraan, memilih tempat 
tinggal diwilayah negara dan meninggalkan-nya, serta 
berhak kembali. 
(2)  Setiap orang berhak atas atas kebebasan meyakini 
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan 
hati nuraninya.
Pasal yang lahir dari Amandemen ke-2 UUD 1945 pada Agustus 
tahun 2000 ini, menjadi bentuk pengakuan negara pada prinsip-
prinsip yang sejalan dengan prinsip universal hak asasi manusia, 
yang sebelumnya belum terakomodasi oleh UUD 1945. Rumusan 
ini dalam UUD RI 1945 telah menegaskan bahwa keputusan 
beragama/ berkeyakinan diletakkan pada individu warga negara. 
Negara telah mampu menegaskan paradigma bahwa agama/ 
keyakinan merupakan persoalan individu dan bukan persoalan 
negara. Dengan paradigma yang demikian, negara tidak berhak 
campur tangan dalam hal akidah (dasar-dasar kepercayaan), ibadah, 
syari’at agama warganya.
44
 Pandangan yang demikian sekaligus 
memperjelas doktrin positive rights hak-hak sipil dan politik dalam 
disiplin hukum hak asasi manusia. Jaminan kebebasan beragama/ 
berkeyakinan dalam UUD RI 1945 juga sejalan dengan  jaminan 
44
 Dalam konteks ruang privat, agama dimengerti sebagai lingkup nilai-
nilai moral dan religius. Konsep seperti makna hidup, keyakinan religius, 
pandangan hidup, kesem-puranaan hidup  bisa sangat beragam sehingga 
dianggap tidak dapat dijadikan dasar konsensus rasional dan universal. 
Pertanyaan tentang  “good life”  tidak perlu dijawab oleh institusi politis, 
melainkan dikembalikan pada individu atau kelompok dalam masyarakat. 
Lihat Dr. Fransisco Budi Hardiman, Agama dalam Ketegangan antara Ruang 
Publik dan Ruang Privat, Makalah Seminar pada tanggal 08 Maret 2002, ICRP 
Jakarta.
45
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
yang melakukan tindakan kriminal yang berhubungan dengan 
kebebasan beragama/ berkeyakinan. 
Pernyataan-pernyataan pejabat negara yang memprovokasi 
atau mendorong terjadinya intoleransi (condoning), secara 
legal belum tersedia ruang untuk mempersoalkannya, tetapi 
karena toleransi adalah nilai imperatif demokrasi dan hak asasi 
manusia, maka keberpihakan dan tindakan intoleransi yang 
disponsori oleh negara (baca: pejabat-pejabat publik) tetap 
bisa dipersoalkan secara moral. Patut dicatat, bahwa hak asasi 
manusia dibangun dan dikembangkan di atas prinsip-prinsip 
etik demokrasi dan kemanusiaan yang toleran. 
Laporan ini mencatat bahwa pernyataan-pernyataan 
pejabat negara yang memprovokasi atau mendorong terjadinya 
intoleransi (condoning), plus situasi dan kondisi di daerah dan 
di tengah masyarakat yang juga rentan, -baik oleh karena 
rendahnya pendidikan kewargaan maupun prilaku elit agama 
dan elit politik yang semakin eksploitatif untuk melakukan 
politisasi agama- telah menular secara aktif dan efektif kepada 
masyarakat. Provokasi negara untuk berpihak dan bertindak 
intoleran telah diikuti oleh warga negara baik secara pribadi 
maupun kelompok.
Pada kategori tindakan aktif negara, laporan ini mencatat 
99 pelanggaran dalam 17 bentuk tindakan. Sementara dalam 
kategori pembiaran tercatat 89 pembiaran, baik pembiaran 
atas tindakan kriminal warga maupun pembiaran karena tidak 
memproses secara hukum pelaku tindakan kriminal. Berikut ini 
adalah tabel yang menunjukkan bentuk-bentuk tindakan negara 
dan beberapa narasi peristiwa. 46
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
Tabel 2:
Bentuk Pelanggaran Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
yang Dilakukan oleh Negara
  No Bentuk Pelanggaran Jumlah
 I BY COMMISSION  [tindakan aktif negara] 99 
 1 diskriminasi akses layanan publik 2
 2 intimidasi   1
 3 pernyataan pejabat negara yang mendorong 
  terjadinya intoleransi dan kekerasan 24
 4 pelarangan ibadah & aktivitas keagamaan  8
 5 pelarangan aliran keagamaan/ keyakinan 7
 6 pelarangan pendirian tempat ibadah 1
 7 pemaksaan keyakinan & pindah keyakinan 3
 8 pemberian izin penyegelan 8
 9 pengrusakan tempat ibadah 2
 10 penyegelan tempat ibadah 5
 11 penyegelan madrasah (sekolah) 1
 12 pengrusakan properti keagamaan 1
 13 peradilan terhadap orang yang dianggap sesat 25
 14 penembakan [meninggal] 1
 15 kebijakan represif & diskriminatif 3
 16 pengawasan dan pengintaian 6
 17 penghentian paksa kegiatan belajar 1
 II BY OMISSION [tindakan pembiaran] 89 
 18 pembiaran atas aksi kekerasan 39
 19 pembiaran tidak memproses secara hukum 50
    Jumlah  188
Negara, melalui aparatusnya melakukan 2 pelanggaran 
83
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
Terdapat 1 kasus yang secara spesifik menyasar 
perempuan di tahun 2008, yaitu pelarangan pemakaian 
jilbab yang dilakukan oleh manajemen Rumah Sakit Mitra 
Bekasi. Karyawan yang bernama Wine Dwi Mandela 
akhirnya diberhentikan dari pekerjaannya karena menolak 
melepas jilbab. Pihak rumah sakit kemudian menganulir 
keputusannya dan mempekerjakan kembali Wine, tapi yang 
bersangkutan saat ini tidak lagi bekerja. Kasus ini merupakan 
bentuk diskriminasi berdasarkan keyakinan agama dan 
karena faktor yang bersangkutan adalah perempuan.  
Di atas segalanya, berbagai pelanggaran kebebabasan 
beragama/ berkeyakinan yang menunjukkan negara berpihak 
dan bertindak intoleran telah memperkuat modal sosial 
organisasi-organisasi keagamaan yang selama ini aktif bertindak 
intoleran dan menggunakan kekerasan. Pemihakan negara juga 
memperteguh dominasi logika-logika agama dan moralitas, 
mayoritas versus minoritas dalam relasi warga negara. []
3.4. BIAS TAFSIR KONSTITUSI TERHADAP JAMINAN 
KEBEBASAN BERAGAMA/ BERKEYAKINAN 
Langkah-langkah konstruktif negara dalam menjamin 
hak kebebasan beragama/ berkeyakinan telah dimulai sejak 
perubahan UUD RI 1945. Secara konstitusional hak kebebasan 
beragama/ berkeyakinan di Indonesia mendapat jaminan kuat, 
karena tercantum dalam UUD RI 1945,  yang  merupakan acuan 
tertinggi dalam praktik berbangsa dan bernegara.  
Dalam UUD RI 1945  Pasal 28E disebutkan:82
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
berlapis. Diskriminasi berbasis jender yang diidentifkasi dalam 
laporan tersebut menunjukkan bahwa pelanggaran kebebasan 
beragama melahirkan efek berantai. Temuan utama Komnas 
Perempuan adalah bahwa perempuan Ahmadiyah mengalami 
diskriminasi berlapis-lapis, baik karena dia perempuan juga karena ia 
adalah anggota kelompok minoritas yang sedang menjadi sasaran 
penyerangan. Perempuan Ahmadiyah mengalami pelanggaran-
pelanggaran HAM berbasis jender selain pelanggaran-pelanggaran 
yang sama-sama dialami oleh warga laki-laki dari komunitas 
Ahmadiyah. Pelanggaran-pelanggaran tambahan yang dialami 
oleh perempuan Ahmadiyah merupakan pelanggaran terhadap hak 
untuk bebas dari kekerasan berbasis jender, hak untuk berkeluarga 
dan melanjutkan keturunan, hak atas penghidupan yang layak, 
dan hak atas kesehatan reproduksi.
43
Komunitas Al Qiyadah al Islamiyah yang pada tahun 
2007 mengalami banyak kekerasan, pasca vonis hakim atas 
pimpinannya, Ahmad Moshaddeq, umumnya para pengikut 
termasuk pimpinannya telah menyatakan “bertaubat” dan 
tidak lagi mengalami kekerasan berarti. 
Dampak represi dan diskriminasi yang dilakukan oleh negara 
terhadap kelompok agama dan keyakinan, secara umum  telah 
mengikis hak-hak dasar warga negara untuk bebas menjalankan 
ibadah. Komunitas Ahmadiyah, pasca penyerangan, pembakaran, 
penyegelan, tetap menjalankan ibadah sebagaimana biasa, meski 
kemudian mereka mengurangi kegiatan-kegiatan ibadah dan 
keagamaan yang mengundang perhatian publik. 
43
 Komnas Perempuan, Laporan Pemantauan HAM Komnas Perempuan 
dan Anak Ahmadiyah: Korban Diskriminasi Berlapis, Jakarta, 22 Mei 2008
47
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
dalam bentuk diskriminasi (kebijakan bersyarat) dan 
DISKRIMINASI AKSES LAYANAN PUBLIK. Pada bulan Juli 2008, 
Kantor Urusan Agama (KUA), Departemen Agama Kecamatan 
Danau Kembar, Sumatera Barat, menolak mengeluarkan Akta 
Nikah seorang warga Ahmadiyah. Sementara pada Juni 2008 
Bupati Mataram NTB, memberlakukan syarat tertentu kepada 
jemaat Ahmadiyah, yakni tidak boleh tinggal berkelompok, 
tidak boleh melakukan kegiatan yang eksklusif. 
Negara, melalui aparatusnya melakukan 1 pelanggaran 
dalam bentuk  INTIMIDASI. Pada 13 September 2008 Bupati 
Lombok Timur menyatakan ”tidak ada tempat bagi Ahmadiyah 
di Bumi Selaparang kecuali mereka bertaubat dari Ahmadiyah.”  
Negara, melalui aparatus negaranya melakukan 24 
pelanggaran dalam bentuk  PERNYATAAN YANG MENDORONG 
TERJADINYA INTOLERANSI DAN KEKERASAN, antara lain; 
sejumlah pejabat negara yang melakukan tindakan intolernasi 
adalah Wakil Presiden M. Jusuf Kalla.
36
 Selanjutnya sejumlah 
anggota DPR RI seperti Anggota Komisi VIII DPR RI, DH Al Yusni 
yang menyatakan bahwa “masih adanya massa yang turun 
ke jalan, merupakan bukti SKB Tiga Menteri tidak jelas dan 
terkesan setengah hati. Jadi jangan salahkan kalau ribut-ribut 
masalah Ahmadiyah akan terus muncul.”37 
Pada 2 Juni 2008, 
Anggota Komisi III DPR RI Nursyamsi Nurlan juga bertindak 
intoleran dengan mengemukakan pendapat yang mendesak 
agar Kapolri menangkap Lia Eden karena telah melakukan 
36
 Tanggal 9 Juni Wakil Presiden M. Jusuf Kalla mengatakan bahwa 
Surat Keputusan Bersama tentang Larangan Ahmadiyah sudah sesuai dengan 
konstitusi.
37
 Rilis yang dikeluarkan pada tanggal 5 Agustus 2008.48
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
penistaan agama.
38
 Sementara anggota Komisi III lainnya, 
Ma’mur Hasanuddin, pada 16 Juni 2008 bertindak intoleran 
dengan menyatakan bahwa Ahmadiyah bukan hanya harus 
dibubarkan secara organisasi tetapi juga secara gerakan, karena 
Ahmadiyah adalah bahaya laten yang dapat merusak akidah.
39
Pada 7 Januari 2008,  Anggota Komnas HAM Saharuddin 
Daming mengemu-kakan pernyataan bahwa tindakan aparat 
penegak hukum baik dari jajaran kepolisian dalam bentuk 
penangkapan/ penahanan pimpinan Al-Qiyadah dan aliran sesat 
seperti Ahmadiyah bukan melanggar HAM. 
Pada 8 Januari 2008 Wakil Ketua DPRD Sumatera Barat 
H. Mahyeldi Ansharullah, SP bertindak intoleran dengan 
mengemukakan pendapat mendukung aksi KPSI (Komite 
Penegak Syariat Islam) Sumatera Barat mendesak Pemerintahan 
SBY-JK segera membubarkan Ahmadiyah.  Sedangkan pada 19 
Juni 2008 Ketua DPRD Sumatera Barat, H Leonardy Harmainy 
bertindak intoleran dengan mengemukakan pendapat 
“Aliran Ahmadiyah dilarang dan termasuk non muslim serta 
menghimbau anggota JAI untuk menghentikan penyebaran, 
penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok 
ajaran Islam.” 
Pada 13 November 2008 Walikota Padang Fauzi Bahar,  
bertindak intoleran dengan mengemukakan pernyataan 
“Pemerintah Kota Padang akan menurunkan kembali papan 
nama Jemaat Ahmadiyah.” Tindakan intoleran juga dilakukan 
38
 Hasil pendokumentasian, sebagaimana diberitakan oleh www.antara.co.id.
39
 Hasil pendokumentasian, sebagaimana diberitakan oleh www.pk-
sejahtera.org
81
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
dalam memori kolektif anak-anak Ahmadiyah. 
Para pengungsi Ahmadiyah yang saat ini mendiami Asrama 
Transito Mataram hingga kini belum mendapat penanganan 
serius dari pemerintah daerah. Pemantauan terakhir di Asrama 
Transito Mataram yang menjadi tempat penampungan 
pengungsi Ahmadiyah menunjukkan bahwa jemaat Ahmadiyah 
hidup dalam kondisi yang memprihatinkan.
42
 Selama tiga tahun 
menjadi pengungsi, pemerintah belum memenuhi hak-hak 
dasar pengungsi. Sejumlah 140 jiwa pengungsi selama ini hanya 
memperoleh bantuan beras 2 ton per 4 bulan. Artinya, masing-
masing jiwa mendapatkan 100 gram beras per hari. Itulah 
yang dikonsumsi para pengungsi Ahmadiyah. Umumnya, para 
pengungsi masih menganggur karena kesulitan mencari kerja. 
Sebagian dari mereka ada yang bekerja sebagai tukang ojek dan 
buruh bangunan seadanya. 
Dampak lanjutan dari pelanggaran kebebasan beragama/ 
berkeyakinan di NTB, dari 140 jiwa pengungsi, 35 orang di 
antaranya masih berusia sekolah, dan sebagian di antaranya 
telah putus sekolah karena faktor biaya. Anak-anak Ahmadiyah 
yang bersekolah di daerah sekitar pengungsian juga dilabeling 
sebagai anak Ahmadiyah di dalam laporan studinya. Atas 
keberatan banyak pihak akhirnya labeling ini tidak lagi terjadi.   
Merujuk pada laporan Komnas Perempuan tentang 
Perempuan Ahmadiyah: Korban Diskriminasi Berlapis (Mei 2008), 
perempuan Ahmadiyah, khususnya di NTB mengalami diskriminasi 
42
 Investigasi dilakukan oleh pemantau SETARA Institute, pada 12 
Desember 2008. Wawancara dilakukan dengan sejumlah pengungsi, di 
antaranya Ahmad Jauzi dan Udin, pengungsi asal Lombok Timur80
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
Tabel 5:
Daftar Individu/ Organisasi yang Menjadi Ktindakan Pelanggaran Kebebasan 
Beragama/ Berkeyakinan 
  No. Individu/ Kelompok Korban Jumlah
 1 Ahmadiyah  238
 2 Individu  48
 3 Al Qiyadah Al Islamiyah 4
 4 Aliran Keagamaan/ keyakinan 15
 7 AKKBB  1
 8 Kader PDS  2
 9 Dunia Usaha/ Korporasi 2
 11 Lain-lain  10
 12 Jemaat Gereja  15
 13 Jamaah Thariqat Satariyah Sahid 2
 14 Jamaah Syi’ah  2
 17 Komunitas Salamullah 5
 23 Nursyahidin dan Pengikutnya 2
 24 Pelajar Ahmadiyah 17
 27 Pengikut Bihara Ummat Budha/ Umat Budha 2
 29 PGI  2
   Jumlah   367
Sebagai peristiwa yang mengusik integritas diri dan 
kebebasan hakikinya, pelanggaran kebebasan beragama/ 
berkeyakinan telah melahirkan dampak ikutan bagi para 
pemeluknya. Bagi anak-anak jemaat Ahmadiyah misalnya, 
penyegelan sekolah dan penghentian paksa kegiatan belajar 
mengajar telah melahirkan trauma tersendiri dan akan tersimpan 
49
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
oleh Kepala Kanwil Depag Kalimantan Tengah, H Anshari (Pada 
14 Juni 2008), Walikota Cimahi (10 Juni 2008).
Pada 17 Januari 2008, Gubernur Sumatera Barat bertindak 
intoleran dengan meminta MUI dan Pakem Sumatera Barat 
untuk mengevaluasi kembali ajaran Ahmadiyah di Sumatera 
Barat. Tindakan-tindakan intoleran juga dilakukan oleh pejabat-
pejabat lainnya. 
Negara, melalui aparatusnya melakukan 8 pelanggaran 
dalam bentuk  PELARANGAN IBADAH DAN AKTIVITAS 
KEAGAMAAN. Bupati Sukabumi, pada 29 April 2008 melarang 
aktivitas di enam tempat  ibadah Ahmadiyah di Sukabumi: 
Masjid Al Furqon Parakansalak, Masjid Mubasirin di Kampung 
Ciletung Desa Lebak Sari Kecamatan Parakan Salak, Masjid Ar-
Rahman di Kampung Cigombong, Desa/ Kecamatan Warung 
Kiara, Masjid Al Barokah di Kampung Panjalu Desa Karawang, 
Kecamatan Sukabumi, Masjid Al Huda di Kampung Bojong 
Lowa, Desa Sukamantri, Kecamatan Cisaat, dan Masjid Al Fadhol 
di Kampung Simpang Sangit, Desa Bojong Jengkol Kecamatan 
Jampang. 
Pada 25 Juni 2008, Kejaksaan Negeri Tasikmalaya melarang 
Ahmadiyah melakukan shalat Jumat dan mengadakan kegiatan 
di Masjid. Pada 10 Juni 2008, Walikota Cimahi HM Itoh Tochija 
meminta agar Ahmadiyah di Kota Cimahi menghentikan 
aktivitasnya dengan dalih tidak sesuai dengan SKB. Wali Kota 
juga meminta Muspida di Kota Cimahi lebih tegas dan melakukan 
tindakan nyata jika terjadi pelanggaran di lapangan. Pada 19 
Juni 2008, di Tangerang, Banten, Ketua RT, Lurah dan Camat 
Kecamatan Tangerang melarang Warga Ahmadiyah beribadah 50
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
dan menghentikan secara paksa kegiatan jemaat Ahmadiyah 
Kecamatan Tangerang.
Pada 30 April 2008 di Cianjur, Jawa Barat, Kapolsek 
Ciranjang Cianjur melarang Jemaat Ahmadiyah melakukan 
shalat Jumat. Pada 14 Maret 2008, di Mataram, Nusa Tenggara 
Barat, Pakem Nusa Tenggara Barat melarang jemaat Ahmadiyah 
Asrama Transito untuk melakukan ibadah secara berbeda. Pada 
14 Juni 2008, di Kalimantan Tengah, Kepala Kanwil Departen 
Agama Kalimantan Tengah, H Anshari meminta kepada jemaat 
Ahmadiyah agar menghentikan penyebaran keyakinannya. Pada 
25 Juni 2008, di Tasikmalaya, Kejaksaan Negeri Tasikmalaya 
melarang Ahmadiyah melakukan shalat Jum’at dan kegiatan di 
Masjid.
Negara, melalui aparatusnya melakukan 7 pelanggaran 
dalam bentuk  PELARANGAN ALIRAN KEAGAMAAN/ 
KEYAKINAN antara lain;
40
 pada 9 Juni 2008 Menteri Agama, 
Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia 
menerbitkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa 
Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tentang 
Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/
atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) 
Dan Warga Masyarakat. Sedangkan pada 1 September 2008, 
Gubernur Sumatera Selatan melarang keberadaan Ahmadiyah 
di Sumatera Selatan dengan SK Gubernur Sumatera Selatan No. 
563/ KPTS/ BAN.KESBANGPOL&LINMAS/ 2008. 
40
 Pelarangan aliran/ keyakinan lainnya adalah dalam bentuk vonis sesat 
terhadap orang yang memiliki keyakinan berbeda. Ketika seseorang divonis 
sesat maka alirannya pun dianggap sesat. MIsalnya keyakinan Lia Eden dan 
sejumlah kasus lainnya.
79
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
3.3.3.  Korban Pelanggaran & Dampak yang Ditimbulkan
Pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan di tahun 
2008 paling banyak menimpa Jemaat Ahmadiyah. Sebanyak 
238 tindakan pelanggaran menimpa kelompok Ahmadiyah. 
Ahmadiyah menjadi korban tindakan pelanggaran kebebasan 
beragama dalam berbagai bentuk: dari mulai intoleransi, represi 
negara, pembiaran negara, dan tindakan kriminal warga negara/ 
kelompok masyarakat. 
Pada tahun 2007, pengikut Al Qiyadah al Islamiyah 
mengalami tindakan pelanggaran kebebasan beragama/ 
berkeyakinan yang paling banyak. Di tahun 2008 kelompok ini 
ditimpa 4 pelanggaran. Sedangkan jemaat gereja, baik Kristen 
maupun Katholik mengalami 15 tindakan pelanggaran. Laporan 
ini mencatat sejumlah 48 individu mengalami pelanggaran, baik 
dalam bentuk penembakan yang menimpa Madi, diskriminasi 
oleh koorporasi, maupun penangkapan, penahanan, dan vonis 
di pengadilan yang menimpa sejumlah orang yang dianggap 
sesat.   
Sebagaimana pada Laporan Kondisi Kebebasan 
Beragama/ Berkeyakinan SETARA Institute 2007, laporan ini 
juga mencatat dan menghitung jumlah korban berdasarkan 
pada tindakan yang dialami oleh kelompok dan perseorangan 
yang menjadi subyek dan atau yang terkena dampak. Karena 
mayoritas korban adalah komunitas, maka jumlah individu-
individu yang menjadi korban jauh lebih banyak dari yang 
terdokumentasikan.78
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
  No Nama Pelaku Jumlah
 4.  FMPI (Front Masyarakat Pembela Islam) 2
 5.  FMPI Sumatera Barat 2
 6.  FORMIS (Forum Organisasi Massa Islam) 3
 7.  FPI (Front Pembela Islam) 27
 8.  FUI (Forum Ummat Islam 12
 9.  GAPAS (Gerakan Anti Pemurtadan dan 
  Aliran Sesat)  2
 10.  GARIS (Gerakan Reformasi Islam) 7
 11.  HISAB (Himpunan Santri Bersatu) Cianjur 6
 12.  HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) 2
 13.  IKFAF Cianjur  3
 14.  KPSI (Komite Penegak Syariat Islam) 12
 15.  MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) 12
 16.  MTKAAM (Majelis Tinggi Kerapatan Adat 
  Alam Minangkabau) 3
 17.  Muhammadiyah  3
 18.  MUI (Majelis Ulama Indonesia) 42
 19.  NU (Nahdlatul Ulama) 3
 20.  Partai Politik  4
 21.  TAMAT (Tim Advokasi Martabat Ummat) Sumsel 2
 22.  TAMS (Tim Advokasi Muslim Sumatera Barat) 5
 23.  Ormas Islam Lainnya 55
 24.  Kelompok Masyarakat (tidak teridentifikasi)  59
 25.  Individu  20
   Total  295
51
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
Pada 23 Januari 2008, pasca penyerangan yang dilakukan 
oleh warga setempat, aparat Kepolisian, Pengadilan, Bupati 
dan DPRD Belawan Sumatera Utara membekukan kelompok 
pengajian Thariqat Satariyah Sahid. Pada 8 Oktober 2008, 
Kantor Departemen Agama Tasikmalaya melalui keputusannya 
menutup ritual yang dilakukan sekitar dua ratus orang dari 
kelompok Amanat Keagungan Ilahi (AKI) di Gua Ranggawulung, 
Desa Setiawaras, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Tasikmalaya. 
Negara, melalui aparatusnya melakukan 1 pelanggaran 
dalam bentuk PELARANGAN PENDIRIAN RUMAH IBADAH. 
Pada 30 April 2008, di Cianjur Jawa Barat, Kapolsek Ciranjang 
Cianjur melarang jemaat Ahmadiyah membangun tempat 
ibadah menyerupai masjid.
Negara, melalui aparatusnya melakukan 3 pelanggaran 
dalam bentuk  PEMAKSAAN KEYAKINAN DAN PINDAH 
KEYAKINAN. Pada 1 Juli 2008 Kantor Urusan Agama (KUA), 
Departemen Agama Kecamatan Danau Kembar, Sumatera Barat, 
menolak mengeluarkan Akta Nikah seorang warga Ahmadiyah, 
kecuali yang bersangkutan pindah keyakinan. Pada 30 Juni 2008, 
di Bima, Nusa Tenggara Barat, Kepala Desa di Bima memaksa 
seorang warga Ahmadiyah untuk menandatangani surat 
pernyataan keluar dari Ahmadiyah. Pada 12 September 2008, 
di Lombok Barat, Kandepag Nusa Tenggara Barat menghimbau 
warga Ahmadiyah agar mentaati SKB dengan mengeluarkan 
pernyataan tertulis kembali kepada Islam yang benar.
Negara, melalui aparatusnya melakukan 8 pelanggaran 
dalam bentuk PEMBERIAN IZIN PENYEGELAN dan izin penurunan 
papan nama organisasi yang dilakukan oleh masyarakat, antara 52
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
lain; pada 18 Juni 2008, aparat Kepolisian Cianjur, Bupati, 
Pengadilan, DPRD Cianjur memberikan izin penyegelan 
atas masjid Ahmadiyah Kampung Panyairan Desa Sukadana 
Kecamatan Campaka, Cianjur oleh Puluhan massa Himpunan 
Santri Bersatu (Hisab) Cianjur. Pada 18 Juni 2008, aparat Kepolisian 
Cianjur, Bupati, Pengadilan, DPRD Cianjur memberikan izin 
penyegelan atas Masjid Ahmadiyah Kampung Rawaekek Desa 
Sukadana Kecamatan Campaka, Cianjur, Jawa Barat.
Pada 20 Juni 2008, aparat Kepolisian Cianjur, Bupati, 
Pengadilan, DPRD Cianjur memberikan izin penyegelan atas 
Masjid Ahmadiyah Cianjur Jalan Dr Muwardi Cianjur. Pada 20 
Juni 2008, aparat Kepolisian Cianjur, Bupati, Pengadilan, DPRD 
Cianjur memberikan izin penyegelan atas Masjid Ahmadiyah 
Cipeuyeum Bojong Picung. Cianjur. Jawa Barat. 
Pada 20 Juni 2008, aparat Kepolisian Cianjur memberikan 
izin penyegelan atas Masjid Ahmadiyah Jalan Raya Bandung 
Kawasan Cipeuyeum Bojong Picung, Cianjur, Jawa Barat. 
Pada 20 Juni 2008, aparat Kepolisian Cianjur memberikan 
izin penyegelan atas masjid Ahmadiyah Desa Cipeuyeum 
Kec. Ciranjang Cianjur. Pada 27 Juni 2008, aparat Kepolisian 
Cianjur memberikan izin atas penurunan papan nama Masjid 
Ahmadiyah Cianjur. Pada 18 Juni 2008, aparat Kepolisian Cianjur, 
Bupati, Pengadilan, DPRD Cianjur memberikan izin penyegelan atas 
Madrasah (sekolah) Ahmadiyah di Kampung Ciparay, Kecamatan 
Cibeber Desa Sukadana Kecamatan Campaka, Cianjur, Jawa Barat.
Negara, melalui aparatusnya melakukan 2 pelanggaran 
dalam bentuk  PENGRUSAKAN TEMPAT IBADAH  dan 
pembongkaran paksa tempat ibadah. Pada 14 juni 2008, 
77
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
sejenisnya, dan Mejelis 
Mujahidin Indonesia 
(MMI), Forum Umat Islam 
(FUI) dan dan Majelis 
Ulama Indonesia (MUI).
[2]   organisasi massa berbasis 
Islam yang muncul se-
cara sporadis dan ad hoc. 
Baik berbasis kelompok, 
maupun berbasis pada 
wilayah operasinya. Beberapa organisasi yang tercatat 
adalah  Gerakan Reformasi Islam (GARIS), Himpunan Santri 
Bersatu (HISAB) Cianjur, Tim Advokasi Muslim Sumatera 
Barat(TAMS ), dll.
[3]  kelompok yang tidak teridentifikasi. Dalam berbagai 
aksi kekerasan atau intoleransi, kelompok-kelompok ini 
tidak membawa atribut organisasinya. 
[4]  individu. Untuk kategori ini, umumnya adalah individu-
individu tokoh yang tercatat dalam laporan ini. Tindakan 
ketegori pelaku individu adalah intoleransi.  
Tabel 4:
Daftar Pelaku Tindakan Kriminal dan Intoleransi
 
 No Nama Pelaku Jumlah
 1.  Dunia Usaha  3
 2.  FAKTA  3
  3.  FKJM  (Forum Komunikasi Jamiatul Mubalighin 
  Parakan Bogor)  2
FUI (Forum Ummat Islam), organi-
sasi ini didirikan pada Agustus 
2005, tujuan didirikan organisasi 
ini adalah untuk “menjaga fat-
wa” MUI berkenaan dengan plu-
ralisme dan ahmadiyah. Sekitar 
30 organisasi islam bergabung 
dalam forum ini. Setelah terbentuk 
organisasi ini melakukan demo di 
kantor jaringan islam liberal yang 
terletak di Utan Kayu.76
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
Pada 26 Oktober penolakan dengan menggelar pengajian 
akbar untuk menolak pendirian gereja di Cinere, Cinere Depok-
Jawa Barat.
Pada 26 November di Jakarta, sejumlah ormas antara 
lain Forum Umat Islam (FUI) NU, Muhammadiyah, FPI,  ICMI, 
Gerakan Pemuda Indonesia, TPM, Dewan Dakwah Isla-miyah 
Indonesia, Dewan Mas-jid Indonesia, dan Sarekat Islam 
mendesak kepada Komisi VIII agar menasihati Menteri Agama 
dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar konsisten 
menjalankan SKB Tiga Menteri, karena sampai saat ini masih 
marak aktivitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) diberbagai 
kota di Indonesia.
Pada 9 Desember, Forum Komunikasi Umat Islam Maluku 
Tengah menuntut Pemerintah Maluku Tengah untuk segera 
mecopot status guru Welhelmina Holle, seorang guru SDN 4 
Masohi yang dianggap melakukan pelecehan terhadap agama 
Islam.
Secara garis besar terdapat 4 kelompok besar  PELAKU 
TINDAKAN KRIMINAL DAN INTOLERANSI: 
[1]   organisasi yang selama ini sudah dikenal sebagai 
organisasi Islam radikal dan pengusung implementasi 
syariat Islam ke dalam hukum positif. Dalam kelompok ini 
tercatat Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia 
(HTI), Komite Penegakan Syariat Islam (KPSI)
41
 dan 
41
 KPSI yang dimaksud adalah organisasi yang beroperasi di beberapa 
wilayah Sumatera Barat. Di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan KPPSI-
Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam. Secara struktural masing-masing 
tidak memiliki afilasi.
53
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
Trantib Kota Bekasi membongkar paksa 3 gereja HKBP, Gekindo 
dan GPDI di Jalan Melati Ujung, Tambun, Bekasi Timur. Walikota 
Padang, Fauzi Bahar, pada 13 Juni 2008 menurunkan papan 
nama Ahmadiyah Padang di Jalan Haji Agus Salim Padang. 
Sebelum melakukan pencopotan, Walikota, MUI dan Depag Kota 
Padang melakukan shalat Ju’mat bersama warga Ahmadiyah di 
Masjid Ahmadiyah.
Negara, melalui aparatusnya melakukan 5 pelanggaran 
dalam bentuk PENYEGELAN TEMPAT IBADAH.  Pada 18 Juni 
2008, aparat kepolisan menyegel masjid Ahmadiyah di Cicakra, 
Cianjur,  masjid Ahmadiyah di Desa Baros, Cianjur, dan masjid 
Ahmadiyah di Neglasari, Cianjur. Aparat kepolisian juga turut 
serta dalam penyegelan tempat ibadah di Desa Sukadana, 
Cempaka, Cianjur (18 Juni 2008) dan di penyegelan di Jl. 
Muwardi Cianjur (20 Juni 2008).
Negara, melalui aparatusnya melakukan 1 pelanggaran 
dalam bentuk PENYEGELAN MADRASAH (SEKOLAH) Ahmadiyah. 
Pada 18 Juni 2008, aparat Kepolisian Cianjur menyegel Madrasah 
(sekolah) Ahmadiyah Cianjur.
Negara, melalui aparatusnya melakukan 1 pelanggaran 
dalam bentuk PENGRUSAKAN PROPERTY KEAGAMAAN. Pada 
26 Agustus 2008, Satpol PP DKI Jakarta melakukan pengrusakan 
kantor GMKI dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).
Negara, melalui aparatusnya melakukan 25 tindakan 
pelanggaran dalam bentuk PERADILAN TERHADAP ORANG 
YANG DITUDUH SESAT melalui lembaga peradilan, mulai 
dari penangkapan, penahanan, penyidikan, pemeriksaan di 
pengadilan, hingga vonis atas sejumlah orang yang dituduh 54
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
sesat dan melakukan penodaan/ penistaan agama. Narasi 
kategori pelanggaran jenis ini antara lain; penahanan lia Eden 
(15 Desember, di Jakarta), penangkapan Oktaria Tobing (2 Mei, 
di Padang), Sang Penyelamat Akhir Zaman (Spaz) Imam Mahdi 
alias Supriadi bersama belasan pengikutnya(19 September, di Deli 
Serdang Sumatera Utara), penangkapan Chandra (1 Agustus, 
di Lampung), penangkapan Dudung alias Mama Dadung 
Dawuk Dzatullah Wujudullah bin Subhanallah Wabihamdih (28 
April, Sukabumi, Jawa Barat), penahanan tiga orang pengikut 
Madi (5 April, Sulawesi tengah), dan penangkapan Suhendra 
Ketua Perguruan Pencak Silat (PPS) Panca Daya (28 Agustus, 
Tasikmalaya Jawa Barat).
Di tahun 2008 juga beberapa orang mengalami penuntutan 
dan vonis pengadilan, antara lain, penuntutan Edi Ridwan, 
Pimpinan aliran Islam Model Baru (IMB) dan 3 pengikutnya 
Amir, Sudibyo, dan Tarsito (27 Maret, Jambi), tuntutan jaksa dan 
vonis hakim atas Ishak Suhendra dengan hukuman empat tahun 
penjara (28 Oktober, Tasikmalaya), vonis Al Qiyadah Al Islamiyah 
Mushaddeq dengan hukuman empat tahun penjara (23 April, 
Jakarta), vonis atas pengikut al Qiyadah, Dedi Priadi (44) tahun 
dan Gerry Lufhti Yudistira (20) tahun, dengan hukuman tiga 
tahun penjara (2 Mei, Padang). Sementara Abdul Racham, 
pengikut Salamullah, dieksekusi setelah kasasi di Mahkamah 
Agung memutuskan bahwa yang bersangkutan bersalah (7 
Januari 2008).
Negara, melalui aparatusnya melakukan 1 pelanggaran 
dalam bentuk PENEMBAKAN hingga meninggal dunia terhadap 
terhadap warga negara yang dituduh melakukan penodaan/ 
penistaan agama. Pada 5 April 2008, di Sulawesi Tengah, aparat 
75
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
Indonesia (MUI), KH. Ma’ruf Amin menyatakan ”laporan 
International Crisis Group (ICG) yang menyebut MUI sebagai 
lembaga sangat berbahaya adalah provokasi dan bertujuan 
untuk menanamkan paham sekuler.” Pernyataan tersebut 
merupakan tanggapan atas laporan ICG yang menyebutkan 
keberadaan MUI sebagai lembaga yang sangat berbahaya 
terhadap iklim toleransi dan demokrasi di Indonesia.
Pada 19 Juni di Jakarta, Presiden Partai Keadilan Sejahtera 
(PKS), Tifatul Sembiring menyatakan “Presiden Susilo Bambang 
Yudhoyono harus segera mengeluarkan Keputusan Presiden 
(Keppres) Pembubaran Ahmadiyah.”
Pada 19 Juni Ketua 
Komisi Fatwa MUI Sumatera 
Barat, DR H Muchlis Bahar LC 
MA (saksi ahli dalam sidang 
lanjutan kasus penodaan aga-
ma di PN Padang) menyatakan 
“Alqiyadah telah menyimpang 
dari prinsip ajaran Islam (dengan 
merujuk kepada SK fatwa no 1/
Kpt.F/MUI-SB/IX/2007).”
Pada 24 September, Direktur LBH Palembang, Eti Gustina 
menolak mengadakan pertemuan, dan menolak mendampingi 
Ahmadiyah untuk menggugat SK Gubernur Sumsel.
Pada 25 September Dukungan dan pemberian apresiasi 
FUI, MUI, MMI, FPI, HTI, FAKTA kepada  LBH Palembang, atas 
keberaniannya menolak desakan YLBHI agar mendampingi 
Ahmadiyah menggugat SKB.
FPI (Front Pembela Islam), or-
ganisasi ini didirikan pada 1998, 
sejak didirikan hingga saat ini 
FPI masih dipimpin oleh Habib 
Riziq Shibab, tujuan utama dari 
pendirian FPI adalah implemen-
tasi syariat  islam. Organisasi 
ini seringkali melakukan tinda-
kan kekerasan dalam setiap kali 
aksinya. FPI memiliki sejumlah 
cabang di beberapa provinsi di 
Indonesia.74
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
ngotot minta dianggap Muslim, maka mereka harus membuang 
Mirza Ghulam Ahmad dan Kitab Tadzkirahnya. Ini harga mati”.
Pada 3 Juni, di Jakarta, Ketua PBNU Hasyim Muzadi 
menyatakan “sebenarnya, masalah Ahmadiyah ini bukan 
masalah kebebasan beragama/ berkeyakinan, tetapi masalah 
penodaan agama tertentu, dalam hal ini adalah Islam.”
Pada 9 Juni di Jakarta, Sekjen PPP Irgan Chairul Mahfiz 
menyatakan "SKB yang ditandatangani Jaksa Agung, Mendagri, 
dan Menag sesungguhnya bukan jawaban atas tuntutan  akan 
pembubaran Ahmadiyah yang telah melakukan penistaan agama.”
Pada 9 Juni di Jakarta, KH Nur Muhammad Iskandar, 
Pimpinan Pondok Pesantren Asshiddiqiyah menyatakan  “jika 
tak ingin dianggap sebagai kepanjangan tangan Amerika, 
maka pemerintah harus segera membubarkan Ahmadiyah, 
jika tidak, maka presiden akan bertanggungjawab di hadapan 
mahkamah Allah.”
Pada 10 Juni di Jakarta, Ketua Majelis Ulama Indonesia 
(MUI) Amidhan menyatakan “Pemerintah harus musnahkan 
atribut Ahmadiyah termasuk menarik 46 judul buku tentang 
ajaran Ahmadiyah sebagai bentuk pelaksanaan secara benar 
dan konsekuen Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri 
tentang pelarangan aktivitas Ahmadiyah.” 
Pada 11 Juni di Jakarta, Ketua Fatwa Majelis Ulama 
Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin pasca terbitnya SKB Ahmadiyah 
menyatakan “Ahmadiyah akan dibubarkan jika jemaatnya 
menyebarkan pahamnya kepada masyarakat luas.”
Pada 11 Juli di Jakarta, Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama 
55
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
Kepolisian menembak Madi hingga mati. Madi diduga sebagai 
pimpinan aliran sesat.
Negara, melalui aparatusnya melakukan 3 pelanggaran 
dalam bentuk  PENERBITAN KEBIJAKAN REPRESIF DAN 
DISKRIMINATIF  terhadap Ahmadiyah. Pada 9 Juni 2008 Menteri 
Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung mengeluarkan 
Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri,  Nomor 3 Tahun 2008, 
Nomor KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor: 199 Tahun 2008 Tentang 
Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/ atau 
Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga 
Masyarakat. Sementara pada 1 September 2008, Gubernur 
Sumatera Selatan juga mengeluarkan SK No. 563/KPTS/BAN.
KESBANGPOL&LINMAS/2008 yang melarang keberadaan 
Ahmadiyah di Sumatera Selatan. Pada 20 November 2008 
Pakem Kota Padang merekomendasikan tentang pelarangan 
dan Penurunan Papaan Nama Ahmadiyah Kota Padang kepada 
Walikota Padang.
Negara, melalui aparatusnya melakukan 6 pelanggaran 
dalam bentuk PENGAWASAN DAN PENGINTAIAN TERHADAP 
JEMAAT AHMADIYAH, antara lain dilakukan oleh Kejaksaan 
Negeri Solok , Ketua Pakem Solok dan Kasi Intel Kejaksaan 
Negeri Solok. Pada 25 Oktober 2008, Kejaksaan Negeri Padang 
melakukan pengawasan dan penyelidikan pemasangan kembali 
papan nama Ahmadiyah Padang. Pada 19 Mei 2008, Kejaksaan 
Tinggi Sumatera Utara melakukan pemantauan  aktivitas 
Ahmadiyah dengan modus pengintaian. Pada 10 Juni 2008, 
pasca terbitnya SKB Ahmadiyah, Polda Jawa Barat melakukan 
pengawasan kegiatan jemaat Ahmadiyah Jawa Barat. Pada, 14 
Maret 2008, di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Pakem Nusa 56
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
Tenggara Barat mengemukakan pernyataan ”terus memantau 
aktivitas 134 pemeluk Islam aliran Ahmadiyah yang sedang 
dalam penampungan di Asrama Transito Mataram”.
Negara, melalui aparatusnya melakukan 1 pelanggaran 
dalam bentuk  PENGHENTIAN PAKSA KEGIATAN BELAJAR. 
Pada 18 Juni 2008, aparat kepolisian Sukabumi, Jawa Barat 
menghentikan secara paksa kegiatan belajar mengajar Pelajar 
Ahmadiyah. 
Sementara dalam kategori pembiaran, negara melalui 
aparatusnya melakukan 39 pelanggaran dalam bentuk 
PEMBIARAN ATAS AKSI KEKERASAN  dan 50 pelanggaran 
dalam bentuk  PEMBIARAN TIDAK MEMPROSES SECARA 
HUKUM ATAS TINDAKAN KRIMINAL  yang dilakukan oleh 
warga negara. Dalam setiap aksi kekerasan yang dilakukan oleh 
warga negara, otoritas negara umumnya selalu membiarkan 
tindakan itu terjadi. Sebagai pelindung masyarakat, aparat 
kepolisian wajib memberikan perlindungan kepada setiap 
warga negara yang hak-haknya terampas oleh warga negara 
lain. Hanya dalam peristiwa pengepungan Masjid Ahmadiyah 
Al Mubarak Jalan Mohammad Kahfi II Jagakarsa, Jakarta 
Selatan yang terjadi pada 27 Agustus 2008, aparat kepolisian 
berhasil mencegah terjadinya kekerasan, setelah melakukan 
negosiasi. Negara, melalui institusi penegak hukumnya, juga 
tidak memproses secara hukum pelaku-pelaku kekerasan. 
Hanya dalam peristiwa kekerasan di 1 Juni, di Monas Jakarta, 
kepolisian memprosessnya secara hukum. 
Pelaku sejumlah 188 tindakan pelanggaran kebebasan 
beragama/ berkeyakinan, tersebar di berbagai institusi negara, 
73
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
Sementara pada kategori  INTOLERANSI, laporan ini 
mencatat 91 tindakan intoleransi, baik yang dilakukan oleh 
tokoh agama, tokoh masyarakat, dan individu lainnya. 
Intoleransi adalah bentuk tindakan yang tidak kondusif 
bagi penguatan demokrasi dan hak asasi manusia. Besarnya 
tindakan intoleransi yang direpresentasikan dengan pernyataan-
pernyataan dan tindakan intoleran bahkan menebar kebencian 
(hate crimes) dan mendorong terjadinya kekerasan (condoning) 
adalah modal buruk bagi demokrasi dan hak asasi manusia.     
Beberapa tindakan intoleran berupa pernyataan-pernyataan 
yang destruktif dan mendorong orang atau kelompok melakukan 
kekerasan, sebagai berikut:
Pada 3 Januari sekitar 30 orang dari berbagai ormas  Islam 
dan tokoh masyarakat Bukittinggi medesak kepada Pemko 
Bukittinggi untuk bersikap tegas terhadap aktivitas Gereja 
Bethel karena menyalahi aturan yang ditetapkan. 
Pada 4 Januari, di Jakarta FUI (Forum Umat Islam) yang 
merupakan gabungan sejumlah organisasi Islam, melalui surat 
kepada pemerintah c.q. Saudara Jaksa Agung RI, mendesak untuk 
segera melarang Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan 
organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya.
Pada awal Maret, di Lombok Timur NTB, terjadi Konflik 
akibat perbedaan jumlah azan salat Jum’at antara warga dan 
MMI. MMI dalam perististiwa ini menjadi korban intoleransi.
Pada 22 April, di Jakarta, Sekjen Forum Umat Islam M. 
Khaththath mengeluarkan pernyataan “Ahmadiyah jelas bukan 
bagian dari umat Islam alias non-Muslim. Jika mereka tetap 72
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
Pada 20 September Suryadi warga Helvetia, Medan, 
Sumatera Utara, juga dituduh sesat karena mengaku sebagai 
nabi terakhir dan sang pemimpin akhir zaman. Suryadi beserta 
14 orang pengikutnya kemudian ditangkap polisi di kawasan 
Tanjung Moraw.  Penangkapan dilakukan saat Suryadi sholat 
tarawih bersama dengan 14 pengikutnya.
Pada 15 November terjadi juga penyesatan akibat 
beredarnya buku "Risalah Upacara Ibadah Haji" yang ditulis Drs. 
H. Amos, di Deli Serdang Sumatera Utara. Isi buku dianggap 
mendiskreditkan Alqur’an dan isinya dianggap diambil dari Kitab 
Injil dan Taurat.  MUI Sumatera Utara memberikan pernyataan 
bahwa isi buku menyesatkan dan menghina Alqur’an.
Pada 1 Januari MUI Kecamatan Klakah Kabupaten 
Lumajang  melalui  fatwanya menganggap bahwa Maulid Hijau 
adalah sesat. Maulid hijau adalah sebuah kegiatan rutinitas 
tahunan warga Tegal Randu yang bertujuan sebagai upaya 
untuk melestarikan lingkungan dan tradisi setempat serta 
mempromosikan pariwisata yang berupa Ranu (Danau).
Terdapat 3 tindakan PENYITAAN DAN PEMBAKARAN 
DOKUMEN KEAGAMAAN. Pada 18 Juni penyitaan buku-buku 
Ahmadiyah terjadi di Cianjur di  Kampung Panyairan Desa Sukadana 
Kecamatan Campaka, Cianjuroleh Himpunan Santri Bersatu (Hisab) 
Cianjur. Buku-buku Ahmadiyah juga disita pada Juli  2008.
Pembakaran buku menimpa Ishak Suhendra, Ketua 
Perguruan Pencak Silat (PPS) Panca Daya, Tasikmalaya, pada 
saat masa melakukan pengrusakan rumah yang bersangkutan. 
Buku karangan Ishak yang berjudul "Agama dan Realita" telah 
dianggap sesat.
57
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
maupun pribadi pejabat negara. Institusi yang paling banyak 
melakukan pelanggaran adalah kepolisian (121 tindakan), 
Bupati/ Walikota (28 tindakan), pengadilan (26 tindakan), dan 
DPRD (26 tindakan). 
Grafik 7:
Institusi Negara/ Aparat Negara 
yang Melakukan Tindakan Pelanggaran
Perbedaan jumlah tindakan dan pelaku sangat 
dimungkinkan terjadi, karena di dalam satu tindakan terdapat 
beberapa pelaku. Dalam kasus pemberian izin penyegelan 
tempat ibadah misalnya, unsur Musyawarah Pimpinan 
Kecamatan Camat, Polsek, dan Koramil semuanya terlibat 
dalam pemberian izin dimaksud. Demikian juga keluarnya SKB 
Pembatasan Ahmadiyah, di mana Menteri Dalam Negeri, Jaksa 
Agung, dan Menteri Agama melakukan 1 tindakan bersama.
206080100120 040 140
Ketua RT
Kepala Desa/Lurah
Camat
Bupati/Walikota
Gubernur
DPRD
Anggota DPR RI
Anggota Komnas HAM
Bakorpakem
Depag
Kodim
Satpol PP/Trantib
Pengadilan
Kejaksaan
Kepolisian
Menteri Dalam Negeri
Jaksa Agung
Menteri Agama
Wakil Presiden 1
2
2
1
2
16
121
28
1
2
10
3
1
4
4
26
28
2
158
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
Selain catatan tentang keterlibatan kepolisian dalam 
sejumlah tindakan aktif penyegelan, dan pemberian izin 
penyegelan, banyaknya angka institusi kepolisian sebagai pelaku 
tindakan pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan 
disebabkan oleh tugas dan fungsi kepolisian yang pada pokoknya 
wajib memberikan perlindungan kepada setiap warga negara; 
dan jika terjadi tindakan kriminal, berupa kekerasan berbasis 
agama, dan polisi tidak melakukan tindakan pencegahan, maka 
berarti kepolisian sudah mengabaikan tugasnya. Demikian 
juga sebagai aparat penegak hukum, kepolisian seharusnya 
menindak dan memproses secara hukum setiap orang yang 
melakukan tindakan kriminal, dan karena polisi diam, maka 
polisi kembali membukukan tindakan pelanggaran akibat lalai 
memproses secara hukum. 
Namun demikian, perlu dicatat bahwa tingginya angka 
bagi kepolisian sebagai pelaku tidak berdiri sendiri. Sebagai 
aparat hukum, polisi umumnya menjalankan apapun hukum/ 
kebijakan yang diproduksi negara, sekalipun hukum/ kebijakan 
itu diskriminatif. 
3.3.2.  Tindakan Kriminal dan Intoleransi Warga Negara 
Kategori pelanggaran tindakan kriminal dalam isu 
kebebasan beragama/ berkeyakinan, pelaku pelanggarannya 
adalah warga negara, individu atau masyarakat yang secara 
hukum tunduk pada hukum pidana. Seluruh tindakan 
pengrusakan, pembakaran, ancaman, dan lain sebagainya, 
yang terhimpun dalam laporan ini, dikualifikasi sebagai tindakan 
pidana. Pertanggungjawaban hukum harus dibebankan kepada 
71
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
DITUDUH SESAT yang terjadi pada 22 September, terhadap 
rumah pimpinan Tarekat Tauhid di Dusun Berembeng Timur 
Desa Karang Bayan Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok 
Barat NTB.
Terdapat 3 tindakan PENYERANGAN TEMPAT IBADAH. 
Selain pelarangan melakukan ibadah pada 17 Agustus jemaat 
GPDI Pondok Ranggon Cipayung Jakarta Timur juga diserang 
oleh massa Islam yang berjumlah sekitar 200 orang. 
Pada 11 Oktober terjadi penyerangan terhadap tempat 
ritual aliran kerohanian Sapta Dharma , Sanggar Candi Busono 
di Dusun Perengkembang, Balecatur, Gamping, Sleman 
Yogyakarta oleh massa FPI. Penyerangan juga terjadi pada 30 
Oktober terhadap Masjid Ahmadiyah Pusat, Jalan Balikpapan I 
Petojo Utara, Gambir, Jakarta Pusat oleh massa FPI.
Terdapat 6 tindakan PENYESATAN KELOMPOK KEAGAMAAN 
DAN KEYAKINAN. Pada 8 Oktober Depag dan MUI Tasikmalaya 
menutup ritual yang dilakukan sekitar dua ratus orang dari 
kelompok Amanat Keagungan Ilahi (AKI) di Gua Ranggawulung, 
Desa Setiawaras, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Tasikmalaya 
karena dianggap sesat. Mereka dilarang karena dianggap sesat. 
Pada 13 Maret penyesatan juga dilakukan Majelis Ulama 
Indonesia (MUI) Provinsi Jambi Prof.  Sulaiman Abdullah atas aliran 
yang dibawa Edi Ridwan dengan nama ajaran Islam Model Baru 
(IMB). Pada 28 September MUI Kabupaten Tulungagung Jatim 
menyatakan jemaat Al Muhdlor ini sebagai aliran sesat, karena 
ketidakjelasan dasar hukum yang digunakan pertimbangannya, 
dasar hukum yang digunakan untuk menetapkan jatuhnya hari 
Lebaran. 70
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
Ahmadiyah Kampung Panyairan Desa Sukadana Kecamatan 
Campaka, Cianjur oleh Puluhan massa Himpunan Santri Bersatu 
(Hisab) Cianjur, dan masjid Ahmadiyah Kampung Rawaekek 
Desa Sukadana Kecamatan Campaka, Cianjur oleh Himpunan 
Santri Bersatu (HISAB) Cianjur. 
Pada 20 Juni juga terjadi serangkaian penyegelan terhadap 
masjid Ahmadiyah Cianjur Jl Dr. Muwardi Cianjur Kota oleh 
Sekitar 100 massa Gerakan 
Refor-mis Islam (Garis), masjid 
Ahmadiyah Cipeuyeum Bojong 
Picung oleh Gerakan Reformis 
Islam (Garis) dan Himpunan 
Santri Bersatu (Hisab) Cianjur, 
dan masjid Ahmadiyah Desa 
Cipeuyeum Kec. Ciranjang 
Cianjur oleh sejumlah masyarakat . 
Terdapat 1 tindakan PENYERANGAN AKSI DAMAI pada 1 
Juni, di Jakarta yang dilakukan oleh Laskar Komando Islam dan  
Front Pembela Islam (FPI) terhadap kelompok yang menyuarakan 
kebebasan beragama/ berkeyakinan, Aliansi Kebangsaan untuk 
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). 
Terdapat 1 tindakan  PENYERANGAN  KEGIATAN KEAGAMA-
AN  yang terjadi pada 22 Januari. Penyerangan dilakukan 
oleh 300-an warga setempat terhadap Thariqat Satariyah Sahid 
yang sedang mengadakan pengajian di Kelurahan Bagan Deli, 
Kecamatan Medan Belawan, Sumatera Utara. Thariqat Satariyah 
Sahid dianggap sebagai ajaran sesat.
Terdapat 1 PENYERANGAN RUMAH ORANG YANG 
GARIS (Gerakan Reformasi Is-
lam): organisasi ini merupakan 
yang memiliki kesamaan visi de-
ngan organisasi Islam lainnya, 
ikut menyuarakan pembubaran 
ahmadiyah. Lembaga ini dipim-
pin oleh H Cep Hermawan, SE, 
MBA. Fokus kerja organisasi ini 
adalah wilayah Jawa Barat.
59
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
individu atau kelompok yang melakukan kekerasan.    
Laporan ini mencatat 88 tindakan kriminal yang dilakukan 
oleh warga baik secara individu maupun berkelompok. Mayoritas 
pelanggaran dilakukan secara berkelompok. Sedangkan 
tindakan intoleransi masyarakat tercatat sebanyak 91 tindakan. 
Pelaku intoleransi umumnya adalah tokoh-tokoh organisasi 
Islam yang menolak secara keras Ahmadiyah. Dalam kasus 
selain Ahmadiyah, tokoh-tokoh organisas Islam juga tercatat 
turut menebar intoleransi. Tokoh lainnya adalah anggota atau 
pimpinan pesantren, terdapat juga dunia usaha, organisasi 
mahasiswa.
Tabel 3:
Bentuk Pelanggaran Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan
yang dilakukan oleh Masyarakat
No. Bentuk Pelanggaran Jumlah
  I TINDAKAN KRIMINAL WARGA NEGARA  88
 1 ancaman kekerasan 4
 2 diskriminasi dalam pekerjaan 2
 3 Pelaporan orang/ kelompok yang diduga sesat 7
 4 pelarangan ibadah  3
 5 pelarangan aliran keagamaan 1
 6 pelarangan pendirian tempat ibadah 1
 7 pemaksaan keyakinan & pindah keyakinan  3
 8 pembakaran tempat ibadah 3
 9 pencopotan identitas pusat kegiatan keagamaan 6
 10 penghentian paksa aktivitas ibadah 3
 11 pengrusakan properti orang yang dituduh sesat 560
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
No. Bentuk Pelanggaran Jumlah
 12  Pengrusakan tempat ibadah & pusat kegiatan keagamaan 13
 13 pengusiran warga  1
 14 penyegelan madrasah (sekolah) 4
 15  penyegelan tempat ibadah & pusat kegiatan keagamaan  19
 16 penyerangan aksi damai 1
 17 penyerangan kegiatan keagamaan 1
 18 penyerangan rumah orang yang dituduh sesat 1
 19 penyerangan tempat ibadah 1
 20 penyesatan kelompok keagamaan & keyakinan 6
 21 Penyitaan dan pembakaran dokumen keagamaan 3
  II INTOLERANSI WARGA NEGARA 91
   Jumlah   179
Pada kategori tindakan kriminal yang dilakukan oleh warga/ 
kelompok, laporan ini mencatat 88 tindakan kriminal dalam 21 
bentuk.
Terdapat 4 tindakan kriminal dalam bentuk  ANCAMAN 
KEKERASAN  yang dilakukan oleh warga negara/ kelompok. 
Pada 13 Juni, ancaman penyerangan dan penyegelan dilakukan 
oleh FPI dan MMI atas masjid milik Ahmadiyah, di Desa Kalisoro, 
Tawangmangu, Karanganyar Jawa Tengah. Pada 28 April, terjadi 
aksi penolakan Ahmadiyah di kampus Mubarok milik jemaat 
Ahmadiyah di Jalan Raya Kemang, Bogor Jawa Barat. Massa 
Gerakan Umat Islam Indonesia yang dipimpin Abdul Rahman 
Assegaf memberikan pernyatan ”tidak akan bertanggung jawab 
jika terjadi tindakan anarkis di kantong-kantong Ahmadiyah 
oleh massa anti Ahmadiyah.” Pada 7 Juli, warga Ahmadiyah 
69
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
Cianjur Jawa Barat oleh MUI, FPI dan masyarakat. Pada 1 
Agustus terjadi penyegelan Mushola Ahmadiyah di kampung 
Talaga Cianjur Jawa Barat oleh sejumlah Masyarakat, FPI dan 
IKFAF. Pada 1 Agustus terjadi penyegelan masjid Ahmadiyah di 
Kampung Parabon Cianjur Jawa Barat oleh masyarakat, FPI dan 
IKFAF.
Pada 23 Agustus terjadi penyegelan Masjid Ahmadiyah 
Al Hidayah di Jl. Raya Muchtar,  Sawangan, Kota Depok oleh 
puluhan warga yang tergabung dalam Forum Umat Islam (FUI) 
Kota Depok.
Pada 27 Agustus terjadi pengepungan Al Mubarak yang 
terletak di Jl. Mohammad 
Kahfi II RT 07/01, Jagakarsa, 
Jakarta Selatan oleh seratusan 
massa FPI yang pulang setelah 
menghadiri Milad FPI ke-10 
di bawah pimpinan Ketua 
DPW FPI Jakarta Selatan Novel 
Bamu'min. Massa meminta 
sebelum puasa bangunan masjid tidak lagi digunakan sebagai 
masjid dan papan nama harus diturunkan.
Pada 18 Juni terjadi serangkaian penyegelan masjid 
Ahmadiyah di Desa Baros Cianjur oleh ratusan massa dan MUI, 
masjid Ahmadiyah di Cicakra Cianjur, oleh MUI dan ratusan 
masyarakat, masjid Ahmadiyah di Neglasari Cianjur Jawa Barat 
oleh MUI dan ratusan masyarakat, 18 Juni penyegelan masjid 
Ahmadiyah  di Desa Sukadana Kecamatan Campaka, Cianjur 
oleh Himpunan Santri Bersatu (HISAB) Cianjur Jawa Barat, masjid 
HISAB (Himpunan Santri Bersatu), 
Cianjur: organisasi ini mengklaim 
sebagai organisasi perkumpulan 
santri, Hisab memiliki area kerja 
di Jawa Barat. Bersama Garis 
organisasi ini sering menyuarakan 
isu-isu berkenaan dengan syariat 
Islam. Lembaga ini dipimpin oleh 
H. Aceng.68
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
Kecamatan Cibeber Desa Sukadana Kecamatan Campaka, 
Cianjur oleh Himpunan Santri Bersatu (HISAB) Cianjur. 
Penyegelan mengakibatkan terhentinya proses belajar mengajar 
dan penelantaran pelajar. Masih di tanggal 18 Juni, Himpunan 
Santri Bersatu (HISAB) Cianjur juga melakukan penyegelan. Kali 
ini Madrasah Ahmadiyah Kampung Rawaekek Desa Sukadana 
Kecamatan Campaka, Cianjur yang menjadi sasaran. Tindakan 
penyegelan juga terjadi pada 18 Juli oleh masyarakat dan 
MUI, dengan cara menututp paksa Madrasah Ahmadiyah 
Parakansalak Sukabumi. 
Terdapat 19 tindakan  PENYEGELAN TEMPAT IBADAH 
DAN PUSAT KEGIATAN KEAGAMAAN  antara lain, pada 13 
Juni terjadi penyegelan sekretariat jemaat Ahmadiyah Indonesia 
(JAI) Kota Bogor di Jl. Perintis Kemerdekaan, Bogor Tengah, Kota 
Bogor Jawa Barat  oleh FUI – Bogor. Pada 27 Juni Komando 
Laskar Islam, Gerakan Reformasi Islam, Majelis Dakwah Umat, 
Garda Hasmi, Front Pembela Islam (FPI) juga menyegel kampus 
Ahmadiyah Al Mubarok  Bogor Jawa Barat. Setelah menyegel 
kampus Mubarok, kemudian massa menyegel  dan mencopot 
papan nama  masjid Al-Fadhl di Jalan Perintis Kemerdekaan 
Kota Bogor. 
Pada 11 Juni, terjadi penyerangan sekretariat Ahmadiyah 
Kalimantan Selatan yang terletak di Jalan Dahlia Kebun Sayur 
Kecamatan Banjarmasin Tengah oleh sekitar 200 orang. Selain 
dirusak, tempat inipun kemudian disegel.
Pada 30 Juli terjadi penyegelan masjid Ahmadiyah Mahmud 
oleh Masyarakat, MUI, FPI, di Talaga Cianjur Jawa Barat. Pada 30 
Juli terjadi penyegelan masjid Ahmadiyah Taher di Sindangkerta 
61
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
juga mendapat ancaman pembakaran oleh sekelompok massa  
terhadap Masjid Ahmadiyah Ciamis Jawa Barat. Pada 5 Juni, 
Masjid Ar-Rahman milik Ahmadiyah di Pasar Cogombong, 
Kecamatan Warungkiara, Sukabumi, Jawa Barat, diancam akan 
dibakar dan dirusak oleh sekelompok masyarakat. 
Terdapat 2 tindakan DISKRIMINASI DI DALAM PEKERJAAN 
atas dasar agama/ keyakinan. Pada 5 Oktober, seorang warga 
Ahmadiyah, yang bekerja di sebuah bank di Yogyakarta dipaksa 
menandatangani surat pernyataan keluar dari Ahmadiyah 
oleh kantor pusat tersebut dari Jakarta. Sedangkan di Jakarta 
pada 21 April, terjadi pemecatan terhadap Wine Dwi Mandela 
perawat di Bagian Fisioterapi, Departemen Rehab Medik RS Mita 
Keluarga Bekasi, Bekasi Barat. Wine dipaksa mengundurkan 
diri karena  mengenakan jilbab dan manset. Meski manajemen 
memutuskan menerima kembali, namun Wine kini tidak lagi 
bekerja di RS Mitra Keluarga. 
Terdapat 7 TINDAKAN PELAPORAN seseorang/ kelompok 
yang dianggap sesat, antara lain; Nursyahidin dilaporkan ke 
Polda Banten (18 Januari) oleh 
masyarakat. Pada 18 Juni, di 
Sumatera Barat, Ahmadiyah 
dilaporkan ke Poltabes Padang 
atas tuduhan penodaan 
agama oleh sejumlah elemen; 
Muhammadiyah, DPW PKS 
Sumatera Barat, BEM UNP, 
MUI Sumatera Barat, DDII, 
MTKAAM, IKADI Sumatera Barat, Ar Risalah, Paga Nagari, FMPI 
Sumatera Barat, Fakta Sumatera Barat, DDI Sumatera Barat 
TAMS (Tim Advokasi Muslim 
Sumbar): organisasi ini mempu-
nyai kemiripan dengan organisa-
si lokal di daerah lain. Isu Ahma-
diyah menjadi salah satu isu yang 
mendapat perhatian yang cukup 
besar dari lembaga ini. Wilayah 
kerja lembaga ini hanya untuk 
kawasan Sumatera Barat.62
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
dan HTI. Pelaporan atas Ahmadiyah juga terjadi pada 18 Juni 
oleh Komite penegak syariat islam (KPSI), kepada Bakor Pakem 
Sumatera Barat.
Pada Juni 2008 masyarakat melaporkan Syaiful Anwar, 
Ketua jemaat Ahmadiyah Padang yang diduga melakukan 
penodaan agama pada khutbah Jumat tanggal 13 Juni 2008. 
Shalat Jumat pada 13 Juni dihadiri oleh Walikota Padang, MUI 
Padang dan sejumlah pejabat Kota Padang. 
Pada 25 Juni pelaporan juga menimpa Sadek Abdullah oleh 
sejumlah warga atas aliran Amanah yang dituduhkan sebagai 
aliran sesat. Sadek dilaporkan ke Kabid Hubungan Antar Lembaga 
Kesbangpol Linmas Ternate Malut. Pada 2 November, sejumlah 
warga membawa dan melaporkan Suraji dan pengikutnya ke 
Polres Deli Serdang Sumatera Utara. Suraji diduga menyebarkan 
aliran sesat karena mengklaim sebagai nabi akhir zaman dan 
menyuruh pengikutnya tidak berpuasa di bulan Ramadhan. 
Di penghujung tahun 2008, pada 15 Desember di Jakarta, 
Abdurrahman Assegaf melaporkan  Pimpinan Kerajaan Tuhan 
Lia Eden dan pengikutnya yang diduga menyebarkan aliran 
sesat ke Polda Metro Jaya.
Terdapat 3 tindakan PELARANGAN IBADAH DAN AKTIVITAS 
KEAGAMAAN. Antara lain menimpa Ahmadiyah yang terjadi;  
di NTB (19 April), Ciputat Tangerang (5 Juni), pelarangan 
melakukan sholat Idul Fitri 1429 Hijriyah Ciputat Tangerang (19 
September).
Terdapat 1 tindakan  PELARANGAN ALIRAN KEAGAMAAN 
yang dilakukan oleh masyarakat yang terjadi pada 8 Oktober. 
Keputusan MUI Tasikmalaya (bersama Depag) menyatakan 
67
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
Pujud, Kabupaten Rokan Hilir.
Pada 13 Januari terjadi pengrusakan Pura Sangkareang. 
Peristiwa ini dilakukan sesaat sebelum pembakaran Pura oleh 
sekelompok massa di Lombok Barat NTB. 
Sekitar bulan Februari terjadi juga pengrusakan masjid 
di Kampung Aur Kecamatan Medan Maimun oleh Developer 
dengan alasan mesjid tersebut menghalangi pembangunan 
Proyek Banjir Kota Medan.
Pada 28 Januari, terjadi pengrusakan Masjid Al Istiqamah 
milik jemaat Ahmadiyah yang terletak di Desa Sadasari, 
Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka Jawa Barat oleh 
puluhan massa GAM (Gerakan Anti Maksiat) dan Persis (Persatuan 
Islam). Pada 11 Juni terjadi penyerangan dan pengrusakan 
sekretariat Ahmadiyah Kalimantan Selatan yang terletak di Jalan 
Dahlia Kebun Sayur Kecamatan Banjarmasin Tengah oleh sekitar 
200 orang. Di antara sejumlah tokoh pemuda yang turut serta 
adalah M. Hasan, mantan Ketua KNPI Kalimantan Selatan.
Terdapat 1 tindakan  PENGUSIRAN WARGA. Pada 2 Juli 
terjadi pengusiran keluarga Chandra, seorang laki-laki yang 
mengaku diangkat sebagai nabi sejak 2002. Chandra tinggal di 
Jl. Terusan Enim Rajawali Bandar Lampung. Keluarga Chandra 
kini mengungsi di rumah kerabat di kecamatan Sukarame 
Bandar Lampung.
Terdapat 4 tindakan PENYEGELAN SEKOLAH. Pada 18 Juni 
di Cianjur Jawa Barat, terjadi penyegelan Madrasah Ahmadiyah 
Cianjur oleh masyarakat. Pada tanggal yang sama, 18 Juni, 
penyegelan juga terjadi terhadap madrasah di Kampung Ciparay, 66
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
Desa Karang Bayan Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok 
Barat. Pada 24 Oktober terjadi pengrusakan Kantor Harian 
Metro Tapanuli di Jalan Horas No. 27 Kota Sibolga Sumatera 
Utara oleh seribuan massa dari Barisan Rakyat Anti Penindasan 
Islam (Bara Api). Harian ini dinilai membuat cerita lucu yang 
dianggap menyindir umat Islam.
Terdapat 13 tindakan PENGRUSAKAN TEMPAT IBADAH 
DAN PUSAT KEGIATAN KEAGAMAAN antara lain; pada 18 
April, terjadi pengrusakan Masjid Ahmadiyah Baiturrohim di 
Kampung Babakan Sindang Desa Cipakat, Kec. Singaparna 
Kab. Tasikmalaya Jawa Barat. Pada 21 April,  ratusan warga dari 
gabungan berbagai organisasi kemasyarakatan Islam se-Banjar 
dan Ciamis merusak masjid Istiqamah milik jemaat Ahmadiyah. 
Pada 21 April juga terjadi pengrusakan masjid Ahmadiyah di 
Ciamis Jawa Barat. Pada 30 April, terjadi pengrusakan Masjid 
An-Nur milik jemaat Ahmadiyah di Desa Ciaruteun Udik, 
Kecamatan Cibungbulang, Bogor, Jawa Barat. 
Pada 20 Mei terjadi pengrusakan dan pembakaran gedung 
sarana pendidikan dan rumah yang difungsikan sebagai gereja 
Jemaat Gereja Kristen/ Protestan Purwakarta Jawa Barat. 
Pada 27 Juni terjadi pengrusakan pagar dan jendela Masjid 
Ahmadiyah Cianjur yang dilakukan oleh GARIS Cianjur, Jawa 
Barat. Pada tanggal yang sama kampus Ahmadiyah Al Mubarok 
Bogor Jawa Barat, juga dirusak.  Pada 19 Desember Ratusan 
Massa GARIS juga melakukan Penyerangan dan pengrusakan 
Masjid Ahmadiyah Mande Cianjur, Jawa Barat. Pada 5 Oktober 
terjadi pengrusakan Masjid Mubarak Ahmadiyah di kampung 
Sukamaju Dusun Seimenanti, Desa Tanjung Medan, Kecamatan 
63
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
menutup ritual yang dilakukan sekitar 200 orang dari kelompok 
Amanat Keagungan Ilahi (AKI) di Gua Ranggawulung, Desa 
Setiawaras, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Tasikmalaya, yang 
dipanjatkan di dalam gua disertai kegiatan pembaiatan.
Terdapat 1 tindakan PELARANGAN PENDIRIAN TEMPAT 
IBADAH. Pada 26 Oktober, 1000-an  massa yang tergabung 
dalam Forum Solidaritas Umat Muslim Cinere, Gandul, Pondok 
Cabe, Pangkalan Jati dan sekitarnya  menggelar pengajian 
untuk menolak pembangunan gereja HKBP di Jl. Bandung 
Cinere Depok. Massa beralasan pendirian gereja tidak sesuai 
dengan PBM tentang Pendirian Tempat Ibadah dan menyalahi 
ketentuan peruntukan tanah yang semestinya diperuntukan 
untuk pembangunan sekolah. Sebenarnya, gereja ini sudah 
memiliki IMB sejak 1998 yang dikeluarkan oleh Pemda Bogor 
(ketika itu Cinere masuk wilayah Bogor). Namun 8 Juli 2000 
Pemda Depok mengirim surat ke Panitia Pembangunan HKBP 
Pangkal Jati untuk menghentikan kegiatan pembangunan 
gereja, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Terdapat 3 tindakan PEMAKSAAN KEYAKINAN DAN 
PINDAH KEYAKINAN yang menimpa sejumlah orang. Pada 
28 Juni di Garut Jawa Barat, seorang tokoh agama memaksa 
Ahmadiyah untuk shalat berjamaah dengan tokoh yang berbeda 
keyakinan. Sementara pada 21 Juli, di Tasikmalaya Jawa Barat, 
seorang ibu dipaksa oleh anaknya sendiri agar keluar dari 
Ahmadiyah. Pada 5 Oktober, di Yogyakarta, pemaksaan atas 
jemaat Ahmadiyah menimpa seorang pegawai bank untuk 
menandatangani surat pernyataan keluar dari Ahmadiyah oleh 
pimpinan perusahaannya. 64
BERSIKAP DAN BERTINDAK INTOLERAN
Terdapat 3 tindakan  PEMBAKARAN TEMPAT IBADAH. 
Pada 13 Januari di Lombok Barat NTB, terjadi pembakaran 
Pura Sangkareang milik umat Budha. Pada 28 April terjadi 
pembakaran masjid dan madrasah Al Furqon milik jemaat 
Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Kampung Parakan Salak RT 02/ 
RW 02 Desa/Kecamatan Parakan Salak Kabupaten Sukabumi 
oleh FKJM - Forum Komunikasi Jamiatul Mubalighin (FKJM) 
Parakan Salak. Pada 20 Mei di Purwakarta Jawa Barat, terjadi 
pembakaran gedung sarana pendidikan dan rumah yang 
difungsikan sebagai gereja jemaat Protestan.
Terdapat 6 tindakan  PENCOPOTAN IDENTITAS PUSAT 
KEGIATAN KEAGAMAAN.  Pada 27 Juni terjadi penurunan 
papan nama Masjid Ahmadiyah 
Cianjur oleh massa GARIS 
Cianjur Jawa Barat. Pada 12 
Januari juga terjadi pelemparan 
dan penurunan plang  IJABI 
(Ikatan Jamah Ahlul Bait Indo-
nesia) Kebon Roek Mataram 
NTB, yang saat itu sedang 
memperingati  malam ke 9 untuk mengenang wafatnya cucu 
Nabi Muhammad Hasan dan Husain.
Papan nama Ahmadiyah juga dicopot paksa oleh 
masyarakat pada 18 Juni, di Pampangan Sumatera Barat. Pada 
19 Juli Padang Pariaman Sumatera Barat, Setelah dibongkar, 
papan nama Ahmadiyah kemudian dibuang ke sungai dan 
sempat disaksikan oleh gubernur Sumatera Selatan yang 
kebetulan melewati jalan. Pada 20 Juli pengrusakan papan 
nama Ahmadiyah Padang Pariaman dicopot oleh massa KPSI 
KPSI (Komite Penegak Syariat Islam) 
Sumbar: lembaga ini didirikan di 
Padang Sumatera Barat pada 28 
Juli 2008 dengan H. Irfi anda Abidin 
sebagai ketuanya. Beberapa aksi 
penyerangan kediaman pimpinan 
Al Qiyadah selalu dibawah koman-
do KPSI.
65
 Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara 
dalam Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
(Komite Penegak Syariat Islam) Padang Sumatera Barat. Pada 26 
September papan nama dan spanduk ucapan selamat berpuasa 
di kantor sekretariat Ahmadiyah Yogyakarta juga dicopot oleh 
puluhan Laskar Mujahidin Islam (LMI) Yogyakarta.
Terdapat 3 tindakan PENGHENTIAN PAKSA AKTIVITAS 
IBADAH. Tindakan ini terjadi pada 17 Agustus menimpa jemaat 
GPDI Pondok Ranggon, Cipayung Jakarta Timur yang dilakukan 
oleh sekitar 200 orang massa. Sementara pada 11 Juni, terjadi 
penghentian aktivitas Ahmadiyah di Kabupaten Semarang 
bagian Selatan dan sekitarnya yang dilakukan oleh sejumlah 
warga Semarang Jawa Tengah.
Pada 13 Januari  terjadi penghentian kegiatan peringatan 
Hari Asyura yang diikuti sekitar 40 orang oleh 100 orang dari 
kelompok Ahlussunnah Waljamaah, dipimpin oleh H Awaludin, 
H Zen Alkaf. Peringatan tersebut diadakan oleh Yayasan Syiah Al 
Qubra , Mataram NTB.
Terdapat 5 tindakan  PENGRUSAKAN PROPERTI ORANG 
YANG DITUDUH SESAT. Pada 1 Agustus di Cianjur Jawa Barat, 
terjadi pengepungan dan pengrusakan rumah Wahyudin seorang 
anggota Ahmadiyah Cianjur Jawa Barat oleh Masyarakat, 
dilakukan oleh massa FPI dan IKFAF. Pada 28 Agustus masyarakat 
Jalan Raya Garut-Tasikmalaya merusak rumah Ishak Suhendra 
terdakwa dugaan penyebaran aliran sesat di Tasikmalaya Jawa 
Barat. Pada 13 Mei di Lombok Barat NTB, masyarakat  melakukan 
aksi pelemparan rumah H. Muhammad Musfihat yang diduga 
menyebarkan aliran sesaat.
Pada 22 September, terjadi pengrusakan rumah pimpinan 
Tarekat Tauhid H. Jul oleh masyarakat di Dusun Berembeng Timur
Selasa, 25 Mei 2010
e book berpihak dan bertindak intoleran
Diposting oleh inunkchubb_liliput di 06.33
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

0 komentar:
Posting Komentar